“Malam Lebaran Untuk Hati yang Damai”
Cerpen Rahman Yaasin Hadi
“Ibu, Hendi dikasih hadiah apa?” tanya Hendi, riang,
pada ibunya yang sedang memasak opor ayam untuk lebaran esok hari. Ibunya sempat
berjanji akan memberi hadiah jika anak tunggalnya yang kini duduk di kelas 4 SD
itu bisa puasa penuh sebulan tanpa bolong. Dan sampai sore ini di hari terakhir
puasa ramadhan tahun ini Hendi berhasil puasa penuh. Tidak puasa mbeduk, dan
juga berhasil menahan godaan tidak jajan ketika sekolah belum libur kemarin.
Ibunya bingung akan menjawab dan memberikan apa pada
buah hati satu-satunya itu, sebab ia memang belum menyiapkan dan membelikan
hadiah. Sang suami belum juga pulang dari urusan pekerjaan di luar kota selama
tiga minggu ini dan juga tak kunjung memberikan kiriman uang. Jangankan hadiah,
baju baru saja belum mampu ia belikan untuk anak laki-lakinya itu, bahkan ia
bisa menyiapkan ketupat dan opor ayam yang sekarang ini saja karena tadi pagi
diberi uang oleh kakaknya yang mengerti keadaan.
“Bu, kan Hendi sudah bisa puasa penuh, tapi kok kayaknya
nggak dikasih hadiah? Baju baru juga belum dibelikan? Masa Hendi lebaran pakai
baju lama? Ayah mana ya, bu? Kok ayah belum pulang?” Hendi kembali membuka
mulut, menghujani pertanyaan, seperti rengekan yang memburu. Mendengarnya, Ibu
lalu berhenti mengaduk opor di pancinya dan memandangi mata Hendi yang mulai
berkaca-kaca.
“Sabar, ya, nak? Uangnya belum ada. Nanti ayah pasti
pulang. Baju baru dan hadiahnya besok, ya? Kan masih bisa beli setelah
lebaran?” untuk mengatakan ini sebenarnya Ibu harus menahan rasa pedih dan
miris yang muncul di dalam dadanya.