“Bayang-Bayang”
(Karya: Rahman Yaasin Hadi)
Terlihat
lagi sekelebat bayangan hitam, curi-curi perhatian. Aku tidak takut. Hanya
terganggu. Memang sudah biasa. Tapi aku jemu jika terus begitu. Berbagai macam
mantra, sudah kukomat-kamitkan, namun tak kunjung bisa mengusirnya. Detik ini
kuputuskan untuk kudiamkan. Suatu saat, pasti bayangan itu akan lelah. Atau
mungkin aku sendiri yang lelah. Aku tak tahu.
Malam
semakin larut. Aku masih membereskan kamar yang telah diporak-porandakan bayangan
hitam. Aku diam saja. Tak mengeluh. Tubuhku lemas, sementara kamar masih
seperti kapal pecah. Bayangan hitam menunggu disudut kamarku. Aku pura-pura tak
melihat. Dia cekikikan melihatku membereskan hasil ulahnya.
Esoknya. Dikantin kantor. Saat jam makan siang. Aku masih kelelahan. Kantung mata membesar. Menghitam. Nia heran, “Dina, matamu hitam begitu.... sembab?” tanyanya perhatian padaku. “Semalam tidur jam berapa?”
Aku
menggeleng. Tak mau menjawab, pun memandangi. Nia mendorong cokelat panasku.
Mendekatkan pada kedua tangan yang kulipat diatas meja. Cangkirnya terasa
hangat. Menjalar di pori-poriku. Aku bergeming. Pandangan dan pikiranku
menerawang jauh.
“Minumlah...,”
pintanya dengan suara serak basah penuh rayu. Aku menggeleng perlahan. “keburu
dingin, Din...,”lanjutnya.
Tiba-tiba
tangan Nia yang lembut dan wangi meraih lenganku. Menggulung pelan lengan
kemeja, lalu mengusap bulu-bulu halusku. Jantungku bergedub kencang. Getaran
dari lenganku menggelinjang sampai sekujur tubuh. Rasanya ingin cepat-cepat jam
pulang kantor, lalu berbaring.
“Nanti di
tempatku, atau ditempatmu lagi, Din?” Nia mengeluarkan senyum andalan yang
membuatku meleleh.
Bayangan
hitam datang. Berkelebatan didepan mataku. Pandanganku tak bisa mengikuti
cepatnya ia melaju, terbang ke awang-awang. Dadaku terasa berat. Sesak.
Kepalaku pusing. Mataku kunang-kunang. Nia mengguncang tubuhku pelan, lalu
mengucapkan sesuatu yang gelombangnya tak sampai telingaku dengan jelas.
Kutampik
tangan Nia. Berangsur-angsur tubuhku menstabilkan diri. Kupandangi Nia dengan
tajam. Aku harus bersikap. Tak kuat lagi berlama-lama seperti ini.
“Cukup,
Nia, ini bukan cinta! Ini obsesi!” tukasku dengan dada yang sesak.
“Mma...
maksudmu?” Nia seolah tak percaya atas apa yang aku ucapkan.
Kupegangi
kepala dengan dua tangan. Memejamkan mata. Kurasakan ngilu masih berdenyut di
dahiku.
“Dina...
kamu nggak sungguh-sungguh, kan?”
Kupegangi
kepalaku lebih erat.
“Dina...
Din!” Nia kembali mengguncang lenganku.
Kutampik
dengan cepat. Lalu menutup dahi lagi. Berharap ketika membuka mata semuanya
berakhir.
Ketika rasa
nyeri sudah surut, aku membuka mata. Kulihat hanya satu cangkir di mejaku. Disebelahku
tak ada siapa-siapa, tapi di sudut kedai kantin, bayangan hitam itu tersenyum
sinis. Pandangannya menghujam dadaku.
Yogyakarta,
18 Maret 2014. (Di-post-kan 20 Maret 2014)