KAMPUS BICARA
(BAGIAN 1)
Mungkin disana adalah salah
satu tempat yang paling berisik. Begitu berisik mungkin karena semua orang
ingin bicara, semua orang ingin berpendapat, sementara hanya sedikit sekali
yang mau dan mampu untuk mendengar. Mungkin orang-orang disana memang dilatih
untuk pandai dalam berbicara, karena bicara dianggap sebagai suatu keahlian dan
kehebatan. Mungkin jika berhasil menang dalam debat dan adu argumen akan
menjadi suatu kehormatan yang tak ternilai harganya, mungkin oleh sebab itulah
disana sangat bising. Selalu bising hingga menular dan menjalar ketempat ini
setiap malamnya.
“Begini
ya, manusia biasa seperti kita ini sangat rentan untuk menjadi munafik, sangat
rentan untuk menginkari janji, sangat rentan untuk berbohong. bukankah itu semua
menjadi sangat rentan jika kita terlalu banyak bicara?”.
“Lantas
kenapa kamu juga masih banyak berteori?”
“Sebenarnya
aku malas banyak bicara dan membual berjam-jam disini, melakukan hal-hal yang
tak penting sedari tadi”.
“Assshh,
sudahlah, kupikir bukan itu yang jadi permasalahan kita bertiga, teori itu juga
perlu kan? Diam itu perlu, bicara itu juga perlu. Dan bicara sebaiknya yang perlu-perlu
saja kan? Diam itu bagus, banyak bicara juga bagus, tapi semua kan tergantung
penempatannya. Jangan kita sok diam jika seharusnya ada yang dibicarakan, dan
jangan sok bicara jika kita seharusnya diam”.
“Ya aku sepakat
dengan itu, diam dan bicara akan menjadi sama-sama memuakkan jika tak tepat
waktunya, aku menggaris bawahi kata SOK!”.
“Biasa sajalah. Baik
itu biarlah orang lain saja yang bilang kita ini baik, pintar itu biarlah orang
lain saja yang bilang kita ini pintar, ngetop itu biarlah orang lain sajayang bilang kita ini ngetop, bijaksana itu
biarlah orang lain saja yang bilang kita ini bijaksana. Dan nggak perlu
menonjol-nonjolkan ataupun menyembunyikan sesuatu lah, biasa aja gitu lho,
jujur”.
“Kupikir itu
prinsip ya, ada orang yang ingin dia biasa-biasa saja, tapi kan ada juga orang
yang ingin dirinya luar biasa, apa itu salah?”
“Enggak, itu
nggak salah, apa aku menyalahkan? Tapi yang harus dilihat itu caranya, cara,
prosesnya, caranya itu tepat nggak? prosesnya itu tepat nggak? Adil nggak?
Mendzalimi orang lain nggak? Gitu lho”.
“He sudahlah,
sudah. Jangan seakan-akan kita saling menuduh satu sama lain. Bicara dengan
kepala dan emosi yang seperti ini sampai kapanpun akan susah, sudah ya kita
ganti topik saja”.
“Ah kau ini,
segala sesuatu itu harus diselesaikan dong. Inilah kenapa bangsa kita nggak
maju-maju, orang-orangnya selalu menghindari masalah, dan mengganti topik pada
sesuatu yang harusnya diselesaikan”.
“Nah ini juga
yang membuat bangsa kita nggak maju, orang-orangnya nggak bisa move on, stagnan dan memperdebatkan
sesuatu yang seharusnya disikapi biasa saja. Adakalanya kita tidak harus
menyelesaikan sesuatu, adakalanya kita tidak harus mengetahui sesuatu, dan
adakalanya kita tidak harus melakukan sesuatu. Segala sesuatunya jangan
didasari ambisi dong”.
Aku tadi bilang
mampu untuk mendengar, karena mendengar itu butuh kemampuan khusus. Bicara juga
butuh kemampuan, tapi mendengar itu butuh kemampuan yang lebih khusus,
mendengar itu perlu kesabaran yang lebih, mendengar itu butuh prasangka baik
yang lebih. Beberapa orang bisa mendengarkan namun tak sungguh-sungguh
mendengarkan, mereka hanya menyimak untuk mempersiapkan bantahan demi bantahan.
Saat-saat
libur setelah ospek seperti ini aku sering datang kemari memesan kopi dan meja
sendiri, aku menulis, dan aku juga sering iseng mencuri dengar pembicaraan
orang-orang yang datang kemari. orang-orang yang kuyakin adalah seniorku. Tiga
orang yang duduk disana yang sedari tadi berdebat itu menamakan kelompok
diskusinya sebagai kelompok diskusi filsafat. Tapi aku heran dimana letak
filsafatnya jika setiap malam mereka datang kesini hanya untuk beradu pikiran
asal-asalan, juga berlomba-lomba dalam mengeluarkan kebijaksanaanya. Dan, aku
heran kenapa yang rumit dibilang filsafat, kenapa yang ketat dibilang ilmiah,
dan kenapa yang absurd dibilang seni. Aku juga tak tahu apakah mereka ini sungguh-sungguh
mengerjakan apa yang mereka katakan, apakah perkataan mereka itu sesuai dengan
laku mereka? Hmm…
Mereka ini hanya
satu kelompok diantara banyak kelompok lainnya yang sering datang kemari. Inilah
kukatakan bahwa keberisikan di gedung sana menular ketempat ini setiap malamnya,
bayangkan saja jika dua atau tiga kelompok yang seperti itu berkumpul disini,
mungkin sebentar lagi yang lain datang. Yang aku cermati banyak orang yang bisa
bicara tapi hanya sedikit yang mampu untuk mendengar. Biasanya awal-awal mereka
datang berbicara sesuatu yang serius dan menarik, lama kelamaan menjadi
ngalor-ngidul entah apa-apa yang dipermasalahkan, lalu jika sudah agak larut
kadang mulai bicara yang tidak seronok.
Aku menjadi
bertanya-tanya apa yang sebenarnya orang-orang pelajari di dalam gedung itu?
tepatnya di seberang kedai ini. Apa yang seberanya terjadi di lingkungan dalam
sana? Akan seperti apa aku esok hari?
Pukul sembilan
malam, memang belum terlalu malam tapi perkuliahan esok akan mulai dan ada
jadwal aku kuliah pagi, jadi lebih baik aku bergegas pulang supaya tak
terlambat aku bangun nanti. Lekas aku mengemasi buku catatanku, dan membayar
apa yang telah kupesan.
Meninggalkan kedai
kopi depan kampus aku melangkah menuju kos, baru beberapa langkah, kudengar ada
yang memanggil-manggil entah siapa yang memanggil dan siapa yang dipanggil aku
tak tahu.
Tapi kurasa aku
yang dipanggil sebab tak berhenti juga panggilan itu, aku melihat sekitarku dan
tepat dari seberang jalan ini panggilan itu, benar aku yang dipanggil tapi,
astaga!
Aku bersumpah
aku tahu siapa orang itu!
Rasanya
kaki-kaki ini langsung lemas, dan aku tak tahu apa yang akan ku lakukan, apakah
aku harus lari? Dengan kaki selemas ini?
Astaga dia
memang memanggilku dan menyuruhku untuk menunggu sebab dia akan menyebrang dan menghampiriku.
Bersambung
0 Komentar:
Posting Komentar