KAMPUS
BICARA
(BAGIAN 2)
Bimbang, sebenarnya aku tadi ingin
pura-pura tak melihat, lalu pergi. Tapi sekarang sudah terlambat aku harus
bersiap-siap menghadapi malam larut dan mendengar lagi celotehan yang
membosankan, bahkan celotehannya nanti akan lebih parah dari orang-orang
kelompok diskusi filsafat tadi, kalian akan tahu itu nanti.
Orang yang datang itu bernama bang
Fikri, dulu ketika aku kelas satu sampai dua SMA dia satu kos denganku, kelas
tiga aku pindah kos dan tak pernah jumpa lagi dengannya, umurnya kira-kira enam
tahun diatasku, aku tadi berseru dan bersumpah karena aku akan menemui seorang
Megalomania. Aku mencap dia terkena Syndrom Megalomania, syndrom yang merasa
bahwa dirinya adalah paling hebat, paling cemerlang dan sangat dominan.
“Aih lama tak jumpa”, dia tersenyum
dan menjabat tanganku, aku membalasnya.
“Kuliah sini juga toh? Kok nggak
ngabarin abang? Mau kemana?” lanjutnya
“Hehe iya bang. Ini mau pulang
kekosan bang”. Jawabku
“Halah, baru jam sembilan pulang?!
Hayo nongkrong aja sama abang, kita ngopi”.
“Besok kuliah pagi bang, kuliah
pertamaku, aku nggak mau telat”.
“Paradigmamu itu harus dirubah,”
Alamak! apa-apaan ini belum apa-apa
sudah bersabda? Paradigma-paradigma aku nggak ngerti apa maksudnya.
Dia mengeluarkan sebungkus rokok
juga korek api lalu menyalakan sebatang dan melanjutkan doktrin paradgimanya
tadi, “Sekarang kita ini mahasiswa, Ilmu itu nggak sebatas di perkuliahan,
apalagi kita Fakultas Hukum, refrensi kita harus kuat di sosial dan filsafat,
nah yang kayak gitu yang sangat sedikit didapat di kuliah, makanya akan sangat
rugi bagi mahasiswa yang kupu-kupu, kuliah pulang-kuliah-pulang, apalagi
kuman-kuman, kuliah-main kuliah-main, itu lebih parah dan hedonis, nah yang
beruntung itu yang kunang-kunang, kuliah-begadang kuliah-begadang, tapi
begadang juga harus bermanfaat, dalam artian untuk diskusi nambah kedalaman
ilmu dan mengembangkan pemikiran, dan akan sangat lebih baik lagi dan sempurna
jika ditambah ikut organisasi untuk memperkuat pemikiran, relasi, memperkuat
jiwa sosial, dan melatih soft skill kita……”.
Bla-bla-bla… benar kan? Aku disiksa
untuk mendengar perkataannya yang panjang, di waktu dan tempat yang tidak tepat.
Ingin ku sela lalu permisi pulang tapi aku ini orang yang mudah sungkan. Aku
nyeletuk saja, “Iya sih bang, tapi ngantuk aku bang”, mudah-mudahan tahu
maksudku.
“Halah nggak mungkin kau ngantuk jam
segini, kau ni sekarang mahasiswa”. Dengan jawabannya sepertinya aku memang
harus menemani dia mendengarkan setiap celotehannya sepanjang malam. Dia melanjutkan,
“Ini baru jam sembilan, abang udah kenal kamu dua tahun lebih, lupa kamu dulu
kita sering ngobrol sampai pagi dikosan lama? Lagian kita juga udah lama nggak
ketemu, yuk pindah sana”.
Sudahlah mungkin aku memang harus
mendengar celotehannya malam ini, nanti kira-kira sejam dua jam aku akan balik.
“Yasudah ayo bang, tapi jangan malam-malam, jam sebelasan aku balik ya, aku mau
belajar atur waktu bang”.
Sembari menuju kedai kopi yang tadi,
dia berfatwa lagi, “Waktu itu terus berjalan dan waktu itu nggak bisa diatur,
sekarang kamu ini mahasiswa Fakultas Hukum, harus jeli dengan kata-kata yang
dilontarkan, salah kalau bahasanya mengatur waktu. Yang ada kita yang diatur
oleh waktu. Nah sebagai orang-orang yang
berpemikiran dan berdaya cipta, karsa, rasa, kita harus terus berkarya dan berkegiatan
sebanyaknya. Coba kamu hitung kalau kamu tidur enam jam sehari dalam umur
delapan belas tahun berapa tahun kamu menggunakan waktu untuk tidur dan untuk
berkegiatan. Kira-kira seperempat dari hidupmu kamu gunakan untuk tidur. Tidur
sedikitnya rata-rata enam jam sehari, umur delapan belas tahun telah tidur
sepanjang empat setengah tahun setengahnya tigabelas setengah tahun belum tentu
semuanya dimaksimalkan. Lalu coba bayangkan kalau umur enampuluh tahun berarti
sudah tidur 15 tahun, itu kalau tidur rata-rata enam jam sehari lho…”. Aku
mengiyakan dan mengamini saja apa yang dia ucapkan. Aku pesan susu hangat dia
pesan kopi.
Waktu terus berlalu, fatwa demi
fatwa telah dilontarkan tak henti dan tiada habisnya, tapi aku bersyukur kadang
pembicaraan tidak hanya searah dan melulu nasihatnya saja, namun itu juga hanya
kadang.
Rembulan tak jemu memandang gelap,
perlahan namun pasti jam telah berdetak setiap detik bekerja hingga sampai
tengah malam ini, tanpa mengeluh.
Handphone bang Fikri berbunyi dia
mengangkatnya, bla…bla…bla aku tak mengerti apa yang diucapkannya, tapi
sepertinya tentang kuliah dan dosen juga dia minta TA. Kutanya apa itu TA dia
menjawab TA itu Titip Absen, kuheran kenapa absen bisa dititipkan tapi dia
malah berkata “nanti kamu juga pasti mengalami”.
Kok dia masih kuliah ya? sekarang
coba kupikir, jika aku kelas satu SMA dulu dia kira-kira semester enam, berarti
sekarang semester… alamak! Duabelas?! Sekarang dia semester duabelas?!.
“Bang, abang ini sekarang semester
berapa?”
Dia seperti bingung menjawabnya,
sepertinya aku terlalu keras menanyakannya.
“Lulus cepat itu nggak ada gunanya
kalo tidak di waktu yang tepat. Yang utama itu adalah lulus tepat, tepat saat
dia sudah mendapat ilmunya dan mampu mempertanggungjawabkannya, meski semester
sepuluh abang ini masih merasa banyak pengabdian yang harus dijalankan”.
Semester sepuluh? Mungkin pernah cuti? Apa
malu mengakui dosannya sendiri? Sedari tadi aku mendengarkan sabda menjadi
mahasiswa yang baik dan produktif dari mahasiswa yang akan di Drop Out?
Mengerikan, mudah-mudahan aku tak demikian nantinya.
Bersambung
0 Komentar:
Posting Komentar