KAMPUS BICARA (Bagian 2)

KAMPUS BICARA
(BAGIAN 2)

       Bimbang, sebenarnya aku tadi ingin pura-pura tak melihat, lalu pergi. Tapi sekarang sudah terlambat aku harus bersiap-siap menghadapi malam larut dan mendengar lagi celotehan yang membosankan, bahkan celotehannya nanti akan lebih parah dari orang-orang kelompok diskusi filsafat tadi, kalian akan tahu itu nanti.

       Orang yang datang itu bernama bang Fikri, dulu ketika aku kelas satu sampai dua SMA dia satu kos denganku, kelas tiga aku pindah kos dan tak pernah jumpa lagi dengannya, umurnya kira-kira enam tahun diatasku, aku tadi berseru dan bersumpah karena aku akan menemui seorang Megalomania. Aku mencap dia terkena Syndrom Megalomania, syndrom yang merasa bahwa dirinya adalah paling hebat, paling cemerlang dan sangat dominan.

KAMPUS BICARA (Bagian 1)

KAMPUS BICARA
(BAGIAN 1)

           Mungkin disana adalah salah satu tempat yang paling berisik. Begitu berisik mungkin karena semua orang ingin bicara, semua orang ingin berpendapat, sementara hanya sedikit sekali yang mau dan mampu untuk mendengar. Mungkin orang-orang disana memang dilatih untuk pandai dalam berbicara, karena bicara dianggap sebagai suatu keahlian dan kehebatan. Mungkin jika berhasil menang dalam debat dan adu argumen akan menjadi suatu kehormatan yang tak ternilai harganya, mungkin oleh sebab itulah disana sangat bising. Selalu bising hingga menular dan menjalar ketempat ini setiap malamnya.
         “Begini ya, manusia biasa seperti kita ini sangat rentan untuk menjadi munafik, sangat rentan untuk menginkari janji, sangat rentan untuk berbohong. bukankah itu semua menjadi sangat rentan jika kita terlalu banyak bicara?”.

Mengenai Saya

Foto saya
Mari berteman, Twitter: @RahmanYH