(Cerpen) Musik yang Mengusik

“Musik yang Mengusik”
(karya: Rahman Yaasin Hadi)

    Ya ampun, itu hanya sebuah peristiwa. Tapi peristiwa apakah itu, tak bisa kupahami.  Benar, malam ini aku terusik. Dalam hatiku berdesir pilu. Aku dibayang-bayangi rangkaian nada, gerakan bunyi, dan perpaduan serasi yang menggetarkan dadaku. Tapi aku menyesal. Tak bisa kembali ke masa lalu. Andai saja aku tadi tak mendengarnya.
   Tadi sore ketika aku pergi ke sebuah toko buku, ada sebuah musik yang bergetar pelan saat diperdengarkan. Aku tertegun. Getarannya menghujam dadaku. Tanpa mau melewatkan warna harmoninya satu mili detikpun – aku khusyuk merasakan. Tak bergeming. Sampai pada saat musik itu selesai, ingin rasanya aku merengek supaya merasakannya lagi – dan ingin tahu judulnya – juga aku ingin tahu penciptanya. Namun, setelah menyadari diriku, aku hanya bisa kecewa.   
     Aku pernah membaca sebuah buku – tentang jenis-jenis musik berbahaya. Dituliskan; mula-mula ada suatu perpaduan harmoni, melodi, dan efek tertentu yang dapat menghanyutkan pendengarnya. Kemudian, setelahnya, musik itu memainkan frekuensi theta dan delta yang mendayu-dayu ke alam bawah sadar. Hingga akhirnya, jika terus diperdengarkan maka getaran emosi dan perasaan menjadi berpendar.
    Tiba-tiba dalam selembar kertas, Mamik menuliskan sesuatu padaku: Musik itu masalah selera. Ya, aku mengangguk mengamini. Tapi bukan itu. Masalahnya adalah aku kecewa. Jika doa apapun bisa dikabulkan, aku mungkin akan bilang pada Tuhan; supaya, lebih baik aku tak dipertemukan dengan musik seperti itu lagi – seperti yang ku dengar tadi sore.
    Kutanya Mamik; suka musik itu? Dia menjawab; ya, musiknya sungguh indah. Aku tau Mik, aku yakin musiknya indah. Kutanya lagi; bagian mana yang suka? Dia menjawab; sewaktu gesekan cello berpadu dengan denting piano. Kucoba bayangkan lagi getaran – harmoninya. Semuanya masih lekat terpatri didadaku.
   Mamik sungguh baik padaku. Saudaraku yang terbaik menurutku. Dia tak henti-hentinya menghiburku, mengajakku untuk selalu bersyukur: bukankah kita bisa menikmati kesedihan? Seperti halnya musik... ada beberapa warna yang dikandungnya... musik yang biru bukan berarti membuat kita harus kelabu. Aku paham maksudnya. Kemudian hanya sekedar untuk memastikan, kutanya dia; alunan musik haru meski menyayat bak sembilu, namun justru seringkali itu musik yang indah? Dia mengangguk dan tersenyum.
   Terimakasih Mik, mungkin dalam kesedihan terdapat hidup yang indah. Aku akan tersenyum dalam kemelankolisanku. Menikmati melodi dan harmoni perasaanku. Ya ampun, kini aku tahu! aku terbelenggu rindu. Seandainya telingaku tidak tuli, pasti tadi sore aku mendengar betapa indahnya alunan musik itu.

Yogyakarta, 20 Februari 2014.


0 Komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Mari berteman, Twitter: @RahmanYH