Ngidam #cerpen

“Ngidam”
(Karya: Rahman Yaasin Hadi)

Hal yang paling menggembirakan bagi seorang suami adalah ketika kehamilan kekasihnya. Kata suami disini digaris bawahi, sebab ini memang hanya berlaku bagi seorang yang sudah terikat dalam perkawinan sah. Bagi orang yang belum terikat perkawinan dan mendapati kekasihnya hamil tentu saja bukan gembira namun yang terjadi adalah kekacauan mental.

Gembira, tentu saja Joko merasa demikian. Namun kekhawatiran tidak bisa mencukupi kebutuhan ekonomi istri dan anaknya terasa sangat kuat dan berat di kepalanya. Saat ini saja Joko merasa terseok-seok memenuhi kebutuhan dirinya dan istrinya. Pegawai biasa, gaji pas-pasan, kredit motor, biaya kos-kosan, keperluan sehari-hari, dan sebagainya-sebagainya, sudah membuat Joko kembang kempis.

Joko, betapa pelik pikirannya kini, mendambakan lompatan kemapanan dan kesejahteraan sandang papan pangan[1].

“Mas...
Septiva menatap suaminya, Joko.

“Apa dek?”
Joko tak berpaling dari acara joged-joged di televisi.

“Pengen makan bebek goreng...
Septiva meminta dengan manja menempel pada suaminya.

Joko kaget, uang sudah habis tapi istrinya minta makanan yang tak murah.
“Kok bebek sih?”
Refleks, Joko dengan nada sedikit kesal.

“Ya kan ngidam,
Septiva menyudahi menempel manjanya, tahu suaminya kesal.

“Kok dari kemarin ngidam terus?
Protes Joko sambil menghela nafas panjang.

“Ya namanya ngidam...
Septiva mulai ngambek.

“Ya tapi kamu kan tau dek, ini akhir bulan, uangnya sudah habis, kemarin habis kedokter, belum beli susu buat nutrisimu juga to?”, Keluh Joko.

“Kok gitu sih? Kemarin katanya mau ngidam dituruti?”
mulai cengeng, mata Septiva mulai memerah.

Sadar ia sudah membuat istrinya sedih lalu Joko bergeser mendekati istrinya sambil mengelus kepalanya mencoba menenangkan, tapi Istrinya tak bergeming.

“Ya mau gimana sayang, keuangannya juga mepet. Besok aja kalo udah gajian gimana?” Joko berusaha berdamai. Septiva tetap tak bergeming, air matanya berkilau hendak menetes.

“Yaudah.. yaudah… Mas belikan sekarang deh,
Joko lalu bangit berdiri, mengganti pakaian.

“Tapi uangnya gimana?”
Septiva seperti hendak mengetes.

Joko merasa jengkel. Sudah mengalah dan memutuskan sesuatu yang berat, namun keputusannya itu seperti dirong-rong.
”Jadi nggak ni???

“Tuh kan!
Septiva membuang muka dengan cepat.

Menggaruk-garuk kepalanya dengan keras Joko merasa istrinya menyebalkan.
“Nanti gampanglah, aku ngerampok dulu kemana kek!” Jawab Joko sembarangan, tak bisa menutupi rasa kesalnya.

Istrinya lalu menangis mendapati suaminya bersikap tidak nyaman. Membanting diri Septiva di kasur dan menutupi mukanya dengan bantal.

Joko hanya melongo, bingung, kaget, tak tau harus bagaimana. Dicoba didekati istrinya itu dan menarik bantal dari mukanya, namun tangan istrinya mencengkeram erat bantal itu. Joko menepuk jidatnya dengan keras, sadar ia sudah membuat Istrinya menjadi begini.

“Udah nggak usah! nggak jadi! nggak perlu ngidam-ngidam lagi!”
Septiva ngambek sejadi-jadinya, terdengar sesenggukan dari balik bantal.

“Sayang jangan nangis dong. Kan kasian kamunya, kasian juga anak kita.
Berusaha menenangkan, Joko hendak mengelus perut istrinya, tapi Istrinya menolak.

“Maaf ya sayang… maafin mas. Kamu kan tau gimana kondisi keuangan kita. Mas akan kerja lebih giat lagi deh biar kita lebih baik, biar nggak tinggal di kos-kosan lagi juga.”

Mendengar janji suaminya, Septiva membuka mukanya yang sudah basah air mata itu dan membantah,
“Sudahlah nggak usah janji-janji lagi. Tolong nggak usah Janjilah kalo nggak bisa menepati”. Kemudian Septiva menutupi mukanya lagi dan menangis lebih sesenggukan lagi.

Emosi rasanya Joko, merasa ia tidak bisa menjadi suami yang membangakan. Ia merasa sangat payah.

Ditinggalkan Septiva sendiri dikamar. Joko mengambil sebungkus rokok diatas meja, lalu keluar. Duduk di teras kos, dengan asap putih yang membumbung tinggi. Kepalanya tertunduk kaku. Miris rasanya. Pedih.

Malam belum larut, tapi rasa sakit itu sudah larut di dalam hati Joko. Ingin rasanya Joko berteriak dan memukuli sesuatu dengan keras karena emosi. Ia marah dan kecewa pada dirinya sendiri. Dalam hati ia mengutuk dan mengumpat pada dirinya.

Tiga batang rokok sudah dihabiskan, sudah sedikit reda emosinya, namun tetap tak bisa tenang. Ia memutar otaknya bagaimana menyelesaikan dan lompat dari semua ini. Dilihatnya uang didompet, tersisa selembar hijau dan beberapa recehan. Diambilnya kartu ATM, digenggam dengan kedua tangannya mencoba mengingat berapa harta yang masih tersisa di bank. Ia menerka masih ada sekitar uang merah Soekarno dalam tabungan, Jika ia ambil selembar biru tentu masih bisa. Mampu ia membeli bebek goreng hari ini, namun bagaimana hari esok, makan apa, beli susu dengan apa, Ia bimbang. Gajian masih seminggu lagi.

Motor dipacu. Entah hendak kemana Joko tak tahu. Setelah berputar-putar selama kurang lebih lima belas menit, roda motor Joko menuntun kedepan ATM. Ia berhenti, bimbang hendak masuk atau tidak.

Lamunan Joko dikagetkan petugas parkir,
“Mas parkir sini mas! jangan dikunci stang! Perintah petugas parkir itu.
Tanpa sadar Joko mentaati perintah itu, lalu masuk kedalam boks ATM yang dingin, sedingin hatinya.

Tak sadar selembar biru telah ia ambil, struk ATM tertera uangnya di bank sudah kurang dari lima puluh ribu Rupiah. Sambil menghela nafas panjang ia menuju sepeda motornya lagi lalu memberikan beberapa recehan pada petugas parkir.

Motor dipacu lagi, dan lagi-lagi ia tak tahu harus kemana.

Tiba-tiba terbesit dalam pikirannya untuk berlaku curang. Pergi ke warung bebek lalu dengan cepat kabur lari tanpa membayar. Dag-dig-dug hati Joko menimbang-nimbang pikiran itu, haruskah dilakukan? Jika dilakukan bagaimana caranya? Motor dibiarkan tetap menyala lalu pesan dan kabur mengegas motornya dengan cepat? Bagaimana jika tertangkap? Bisa remuk ia dipukuli orang, hanya karena bebek seharga duapuluh ribu Rupiah saja.

Joko memantapkan keputusannya meski sebenarnya tidak terasa mantap apakah benar-benar ia akan melakukannya.

Di depan warung bebek pinggir jalan, Joko menghentikan sepeda motornya. Jantungnya berdesir dengan cepat dan sebentar-sebentar terasa berhenti. Ia lihat di sekelilingnya, aman, tak ada petugas parkir, lantas motor dibiarkan menyala dan diparkir dalam posisi siap kabur.

Dengan jantung yang seperti genderang perang itu, ditambah dadanya yang terasa berat, tanpa melepaskan helmnya ia lalu melangkahkan kakinya yang gemetaran untuk masuk kedalam warung. Penjual melihatnya dan tanya apa yang hendak dipesan. Dengan gugup Joko pesan satu bebek goreng pedas dan dibungkus. Penjual dengan cekatan lalu melompat ke kompor dan mengolah bebek.

Joko menunggu dengan gugup, tangannya digenggam dan diremas-remas, kakinya gemetaran seperti hendak rubuh tubuhnya.

“Masnya kenapa?”
Suara sang penjual merontokkan jantung Joko dalam beberapa detik. Penjual itu heran dan curiga dengan gelagat Joko.

“Eh..ya gimana mas?”
Nafas Joko tersendat-sendat.

sang penjual mengerenyitkan dahinya.
“Masnya kenapa? kok sepertinya resah? duduk dulu lho mas”.

Bingung hendak menjawab apa, Joko takut apakah dia sudah ketahuan, dengan gagap Joko berdalih,
“anu mas, nggak papa, saya cuma buru-buru.
Joko menelan ludah, lalu melanjutkan,
“Iya saya buru-buru, ada anu, saya sudah ada janji dan ini udah telat”.
Joko beralasan, kemudian khawatir apakah alasannya dapat diterima dan dimengerti tanpa dicurigai atau tidak.

“O..”
Mulut si penjual bulat
“buru-buru toh? Ya sebentar ya mas ini tak cepetin, sebentar lagi selesai kok tinggal dibungkus aja.

“I.. iya mas.
Joko meringis, nafasnya sedikit lega, namun tetap takut dan khawatir jika dirinya sudah ketahuan akan kabur.

Pesanan sudah selesai si penjual mengulurkan tas kresek hitam berisi bebek goreng. Dengan gemetar tangan Joko menerimanya, lalu seakan-akan ia hendak mengambil uang di kantong celanannya dengan meraba-rabanya.
Wah, sebentar ya mas uangnya ada di jok motor ternyata.
Inilah puncak kegugupan Joko, detik-detik ia hendak kabur.

Tiba-tiba, dengan cepat sang penjual mencegah Joko dengan tangannya. Deg! Jantung Joko seperti dipukul dengan sangat keras. Mati! Aku mati!, pikir Joko sambil memejamkan mata.

Namun tanpa disangka-sangka si penjual berkata,
“Mas ini gratis buat mas.”

Joko melongo, mulutnya terbuka lebar tak bergerak, matanya tak berkedip, ia tak percaya, sama sekali tak percaya.

Si penjual mengulangi lagi, “iya ini gratis buat mas, saya punya tradisi begini, kalo sudah potongan bebek yang terakhir saya akan gratiskan”.
Si penjual tersenyum dengan indahnya.

Masih melongo, mulutnya belum kunjung tertutup, matanya juga belum berkedip, Joko masih tidak percaya akan hal ini. Terharu, matanya berkaca-kaca, kemudian air matanya titik. Hendak ia berterima kasih namun mulutnya tak bersuara, hanya bergerak-gerak.

Sang penjual masih tersenyum,
“Sudah mas, beneran ini gratis, masnya bisa pulang dan makan dengan keluarga nanti”. Seperti malaikat rasanya sang penjual membuat hati Joko luluh, meleleh, air mata Joko tak bisa ditahan lagi.

“Terimakasih sekali ya mas, terimakasih”. Ujar Joko sambil mengelap air matanya dengan lengannya. Sang penjual hanya tersenyum indah seperti malaikat.

Joko kemudian tak mau berkata-kata dan berlama-lama lagi, ia pamit undur diri, dan memacu sepeda motornya. Angin malam menerpa wajahnya yang basah karena air mata. Sungguh tak disangka, ia awalnya berniat jahat, namun ternyata digagalkan karena kebaikan. Komat-kamit mulut Joko minta ampun pada Tuhan dan tak henti-hentinya mengucap syukur.

Motor terus dipacu, tak sabar Joko ingin cepat sampai kehadapan istrinya.

Sesampainya di kos, ia melihat istrinya sudah tak lagi menangis, ia duduk bersila sambil menatap televisi. Istrinya kemudian melihat suaminya yang sudah pulang dan menenteng tas kresek hitam. Ia heran darimamana suaminya, dan kenapa matannya sedikit sembab.

“Sayang ini bebek gorengnya”, Joko tersenyum menunjukkan tas kresek dan dengan cepat melompat mengambil piring.

Melingkari bebek goreng dengan suaminya, masih heran Septiva bertanya, “Mas dapat dari mana? Beli?”.

“Enggak sayang”, Joko tersenyum, terlihat giginya.

“Lah terus?”, Septiva berakacak pinggang.

Lalu Joko menceritakan kejadiannya, namun tidak diceritakan secara utuh, hanya sebagian saja. “Tadi mas ke ATM ambil uang, terus pergi ke warung bebek goreng, nah pas mas mau mbayar eh ternyata penjualnya bilang, ini gratis mas, mas heran kan, terus penjualnya jelasin kalo ia sering gratisin bebek goreng di potongan terakhir sebelum tutup gitu sayang”. Tersenyum lebar Joko pada istrinya, Ia senang, namun dalam kesenangan itu tetap ada perasaan tidak enak dalam hatinya, ada rasa dosa.

“Yaudah yuk sekarang makan”, Ajak Joko kemudian.

“Mas, maafin adek ya tadi kayak gitu”. Ujar Septiva pelan dan lembut.

“Iya nggak papa sayang, mas yang salah, mas yang minta maaf, sudah sekarang makan ya?” Joko tersenyum lebih lebar, lalu mencium kening istrinya, dan tak lupa perutnya  juga. Istrinya lalu membalas dengan senyuman juga.

Makanlah mereka berdua dengan penuh rasa syukur di malam tenang yang penuh bintang.

Yogyakarta 23 Februari 2014.




[1] Pakaian, Tempat, Makan

Mengenai Saya

Foto saya
Mari berteman, Twitter: @RahmanYH