Mencari Sapto (2)

“Mencari Sapto”
-Bagian Dua-
(Karya: Rahman Yaasin Hadi)

Terlihat, Heni sedang berusaha keras mengingat-ingat pembicaraannya dengan pak Andre tadi pagi. Kemudian memperagakan kisah pembicaraan di telponnya seperti sedang pentas monolog.

“Begini kurang lebih pak: Halo ibu Heni?... Ya saya, bagaimana pak Andre?... Ini bu, kursinya sudah sampai. Apa nanti sekitar jam sembilan, Ibu Heni dan Bapak Samsul ada di toko?... Oh mungkin belum, tapi ada Sapto pak. Bagaimana pak?... Hah! Maaf, Sapto?... Sapto-Sapto.... Iya, Sapto siapa?... Sapto pak – Sapto, itu yang sekarang jaga toko, pak... Oooo, ya – ya – ya, saya tahu.... Terus bagaimana pak?... Oiya lupa. Kalau begitu nanti sekitar jam sembilan itu saya ke toko ya? Dua juta, saya bayarkan tunai saja.... Lho biasanya di transfer, pak Andre?... Saya ingin sekalian minta kuitansi. Maaf, saya ragu, jika menunjukkan bukti transfer apa, maaf, apa nak Sapto akan mengerti nantinya... O yasudah pak, tidak jadi masalah... Baik bu Heni, jam sembilan-an ya?... Iya pak... Selamat pagi... pagi... begitu pak Polisi.” Pertunjukan monolog selesai. Heni memandangi pak Polisi yang mencatat-catat, sambil mengerutkan dahi.

“Emm...” Pak Polisi berdeham, dahinya semakin mengkerut. Lalu berpaling dari kertas catatannya pada bu Heni. “Ibu, itu sepertinya masih janji? Maksudnya; belum ada bukti dan kepastian jika uang dua juta itu benar-benar sudah diberikan oleh pak Andre.”

“Oiya ya pah?” sambil terbelalak Heni menatap suaminya. Suaminya membalasnya sinis, sebelum kemudian menengok cepat pada pak Polisi.

“Lho tapi tokonya sepi pak! Gerai tidak terkunci, apalagi gerbangnya juga tidak! Dan Sapto tidak ada disana!” Samsul protes saja.

“Pak, sebentar, ini permasalahannya; laporan kehilangan Sapto atau kehilangan uang?”

“Ya... ya, uang lah pak, masa Sapto?” Samsul sinis.

“Kalau begitu, biar saya yang mengarahkan penyelidikan ini, supaya tidak melebar kemana-mana. Dan untuk terakhir kalinya, saya peringatkan pak... pak...”

“Pak Samsul... Samsul, nama suami saya ini, pak Polisi.”

“Ya... Ya, pak Samsul. Saya peringatkan anda untuk berlaku sopan dan menghargai kepolisian. Mohon anda tidak usah bicara dulu sebelum saya minta bicara...

“Baik pak, maaf pak... Sekali lagi maaf.” Samsul tertunduk ciut.

“Bapak bandel banget sih!” Heni mencubit paha Suaminya. Terdengar suaminya mengaduh pelan.

“Kalau hanya curiga, bukan hanya Pak Samsul saja yang bisa curiga ke Sapto, saya malah curiga pada Pak Samsul sendiri...” Pak Polisi menatap tajam mata Samsul.

Heni terperanjat, ikut menghujamkan pandangan tajam pada Suaminya.

-BERSAMBUNG-


Yogyakarta, 28 Februari 2014

Mengenai Saya

Foto saya
Mari berteman, Twitter: @RahmanYH