(Cerpen) Hatiku Disayat Sembilu

Hatiku Disayat Sembilu
(Karya: Rahman Yaasin Hadi)

Matahari condong kebarat, sinar panas – menghangat, bersiap membuka cakrawala sore. Cuaca masih gersang, namun angin bertiup sepoi. Dan Pohon besar serta dedaunan yang hijau melambai-lambai sambil berdesik – mengikuti irama angin. Langit silau, birunya menyala terang, dan awan putih ikut-ikutan kontras. Kupejamkan mataku, membiarkan dada – dikungkung seluruh indraku. Ingin sekali kularutkan perasaan ini, pada hawa yang mengintari. Ingin sekali kutitipkan kata hatiku, pada angin yang berputar-putar, dari angkasa menghembus bumi.
Sudah dua minggu, aku melankolis – tak kenal waktu. Di malam hari pikiranku mengharu biru, di pagi hari hatiku kaku, di siang hari dadaku kelabu, di sore hari perasaanku pilu. Hamparan kenangan itu, terus berayun-ayun. Jika kulukiskan hatiku, mungkin dapat terlihat telah menghitam, penuh keropos – dengan lubang-lubang dalam. Dua minggu aku karam, dalam samudra pedih yang mendalam.
Andai ada mesin waktu, aku tak pernah mau jika kembali ke masa lalu. Yang aku mau – hanya meloncat, ke masa depan. Kembali mengulang waktu itu melelahkan. Sama halnya jika telah selesai kuliah ‘strata satu’ empat tahun, namun tidak melanjutkan jenjang selanjutnya; berkarir, atau pergi ke ‘strata dua’, malah kembali mendaftar ke Sekolah Menengah Pertama. Jiwa yang sudah tua akan lelah mengikuti energi muda. Namun kini aku rela naik mesin waktu – tuk kembali ke masalalu. Dengan sebuah alasan; hanya untuk memperbaiki kesalahanku. Sebab, karena kesalahanku dalam kurun sekian waktu, aku telah kehilangan sesuatu, yang membuatku tenggelam dalam pedihnya sayatan sembilu.
Ketika aku memasuki cakrawala usia remaja dulu, aku ingat, ibuku, tak henti-hentinya melarangku untuk berpacaran. Aku terusik dengan larangan itu, sebab banyak sekali aku bersurat-suratan, dan kencan kecil-kecilan. Aku lalu protes, minta penjelasan. Beliau mengomeliku, menghardikku dengan keras; bahwa aku belum cukup dewasa. Aku tersinggung, waktu itu aku merasa sudah dewasa, aku dapat menggunakan pikiranku, tak akan macam-macam, hanya main dan surat-suratan, kubilang begitu. Beliau bersungut-sungut, jengkel, sebab susah memberitahuku, dia wanti-wanti; pacaran akan membuat pelajaranku – sekolahku terganggu. Aku mengeyel, meracau; kenapa harus terganggu, jika berpacaran membuat hari-hari, menjadi senang? Lalu waktu itu aku juga masih ingat, aku membatin; ah, Ibu kan hanya tamat SD?! di SMPku, tak punya pacar itu – tak keren!
Aku merasa telah mengalami banyak pendewasaan – seiring dengan makan asam garam. Salah satu yang mendewasakanku adalah percintaan. Bagaimana aku membahagiakan cintaku adalah tolok ukur kedewasaanku, bagaimana aku menyikapi permasalahan kasihku juga tolok ukur kedewasaanku. Jika kulihat dari tahun ke tahun, saat jatuh dan bangun, maka sering aku merasa; aku sudah banyak berubah, aku lebih dewasa, dan lebih siap menghadapi dunia – juga, siap mendapatkan kekasih yang lebih baik dari sebelumnya. Tapi setelah kutimbang-timbang, di umur dua puluh lima ini, pendewasaan yang telah kulalui tak menghasilkan kedewasaan yang benar-benar dewasa seutuhnya. Aku adalah aku. Sama seperti aku sewaktu ABG dulu. Kemarin aku sungguh merasa dewasa, namun setelah kejadian dua minggu lalu, aku merasa tak ada beda dengan pikiran remaja.
Dua minggu yang lalu, kekasihku meninggalkanku. Satu – dua hari setelah ia meminta putus denganku, aku masih tak percaya, menganggap semua akan baik-baik saja, sebab emosi semata. Namun tiga – empat hari setelahnya aku baru tersadar, jika hal itu benar – benar terjadi. Gila, tak bisa dipercaya, tak henti-hentinya aku bertanya-tanya: apa aku pantas diperlakukan seperti ini? lima tahun saling bermadu asmara, aku dan dia sudah saling dekat dan memberikan hati seluruhnya, tak terhitung miliaran kenangan banyaknya, bahkan dalam tiga bulan lagi aku sudah siap melamarnya. Sungguh tak bisa dipercaya ia meninggalkanku dengan tiba-tiba.
Awalnya kukira; dia jenuh padaku, sebab tak bisa melihat kesejahteraan dalam masa depanku. Awalnya juga, aku tak tahu apa salahku. Sampai pada saat hari keempat aku menanyakan alasannya, dengan berat dia bilang jika dia; sudah lama jenuh, bahkan sejak satu-dua tahun belakang. Sudah tak kuat lagi, sebab aku terlalu egois dan mementingkan diri sendiri. Jika tetap ingin ke jenjang pernikahan, dia merasa tak bisa mengimbangi – segala keresahan pikiran dan perasaan yang sedikit-sedikit selalu kubebankan padanya. Alasannya yang terhunus itu, sekonyong-konyong menghujam jantungku. Ternyata bukan masalah ekonomi, tapi pribadiku. Penyesalan hanya penyesalan. Aku hanya bisa meminta maaf kemudian. Dan kecewa, pada ketidak-dewasaan diriku selama ini. Tak henti-hentinya kurendahkan diriku: aku tak ada bedanya seperti saat remaja dulu.
Aku tak pernah mau kembali ke masa-lalu naik mesin waktu. Tapi untuk alasan satu itu, aku rela kembali – ke masa-lalu naik mesin waktu. Ingin kuperlakukan dengan perangai – kedewasaan yang terbaik, ingin kubahagiakan, kujaga, dan kurawat, harta berharga yang selama ini tak kusadari itu. Harta yang kumaksud bukan dia – yang meninggalkanku, tapi orang yang seharusnya lebih kucinta dan kukasihi, yaitu: ibuku.


Yogyakarta, 21 Februari 2014.

0 Komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Mari berteman, Twitter: @RahmanYH