Malam Lebaran Untuk Hati yang Damai

“Malam Lebaran Untuk Hati yang Damai”
Cerpen Rahman Yaasin Hadi

“Ibu, Hendi dikasih hadiah apa?” tanya Hendi, riang, pada ibunya yang sedang memasak opor ayam untuk lebaran esok hari. Ibunya sempat berjanji akan memberi hadiah jika anak tunggalnya yang kini duduk di kelas 4 SD itu bisa puasa penuh sebulan tanpa bolong. Dan sampai sore ini di hari terakhir puasa ramadhan tahun ini Hendi berhasil puasa penuh. Tidak puasa mbeduk, dan juga berhasil menahan godaan tidak jajan ketika sekolah belum libur kemarin.

Ibunya bingung akan menjawab dan memberikan apa pada buah hati satu-satunya itu, sebab ia memang belum menyiapkan dan membelikan hadiah. Sang suami belum juga pulang dari urusan pekerjaan di luar kota selama tiga minggu ini dan juga tak kunjung memberikan kiriman uang. Jangankan hadiah, baju baru saja belum mampu ia belikan untuk anak laki-lakinya itu, bahkan ia bisa menyiapkan ketupat dan opor ayam yang sekarang ini saja karena tadi pagi diberi uang oleh kakaknya yang mengerti keadaan.

“Bu, kan Hendi sudah bisa puasa penuh, tapi kok kayaknya nggak dikasih hadiah? Baju baru juga belum dibelikan? Masa Hendi lebaran pakai baju lama? Ayah mana ya, bu? Kok ayah belum pulang?” Hendi kembali membuka mulut, menghujani pertanyaan, seperti rengekan yang memburu. Mendengarnya, Ibu lalu berhenti mengaduk opor di pancinya dan memandangi mata Hendi yang mulai berkaca-kaca.

“Sabar, ya, nak? Uangnya belum ada. Nanti ayah pasti pulang. Baju baru dan hadiahnya besok, ya? Kan masih bisa beli setelah lebaran?” untuk mengatakan ini sebenarnya Ibu harus menahan rasa pedih dan miris yang muncul di dalam dadanya.

Perayaan Anniversary



“Perayaan Anniversary
Cerpen Rahman Yaasin Hadi

Ini adalah kali kedua Han memperingati Anniversary putusnya hubungan asmara dengan mantan tunangannya, seorang perempuan yang dicintainya, yang bernama Andria. Pada Anniversary pertama, tahun lalu, Han bersemangat merayakannya dengan tema; sebuah percobaan bunuh diri. Tema bunuh diri itu hanya menjadi percobaan, sebab eksekusinya yang akhirnya gagal.

Waktu itu Han berusaha menggantung lehernya dengan tali tambang. Leher-badannya sempat tergantung beberapa detik, nafasnya sempat tertahan, aliran darahnya sempat terhenti ketika menuju kepalanya, kemudian perlahan-lahan pandangannya berkunang-kunang dan menghitam bersamaan dengan rasa sesak dan sakit yang tiada terperi. Dalam kesakitan, selama beberapa detik, Han meronta, memberontak dengan seluruh gerakan tubuh yang bisa ia gerakkan, menahan cekikan tambang sekuat tenaga tangan yang bisa ia cengkeramkan. Sampai akhirnya tiang penyangga yang terbuat dari bambu berdecit, reyot, dan runtuh. Han terjatuh di lantai. Ia selamat dari jeratan kematian. Percobaan bunuh diri ia gagalkan.

Caleg #cerpen

“Caleg”
(Cerpen, karya: Rahman Yaasin Hadi)
Dimuat di Kedaulatan Rakyat, edisi minggu 30 Maret 2014

Ilustrasi: Joko Santoso - KR

Selama 15 tahun tidak bertemu, dan tak ada kabar, tahu-tahu dia sudah sekaya ini? Aku kaget ketika bosku memberitahu akan ada proyek pengaspalan jalan di Kampung Gondolayu, dengan nilai proyek ratusan juta.  Tapi aku lebih kaget lagi ketika bosku bilang pendanaan proyek pengaspalan itu dari seseorang yang bernama: Abdul Mustofa. Ah, itu adalah Abdul, sahabat karibku. Ingin rasanya kujitak kepalanya dan kumaki-maki dia. Kenapa dia tak memberi tahuku jika sudah menetap di Yogya? Sungguh, aku kangen sekali dengannya, teman baikku saat masih kuliah sarjana satu dulu. Sudah sangat sukses rupanya dia sekarang. Bangga sekali rasanya aku.

Bayang-Bayang #cerpen

“Bayang-Bayang”
(Karya: Rahman Yaasin Hadi)

Terlihat lagi sekelebat bayangan hitam, curi-curi perhatian. Aku tidak takut. Hanya terganggu. Memang sudah biasa. Tapi aku jemu jika terus begitu. Berbagai macam mantra, sudah kukomat-kamitkan, namun tak kunjung bisa mengusirnya. Detik ini kuputuskan untuk kudiamkan. Suatu saat, pasti bayangan itu akan lelah. Atau mungkin aku sendiri yang lelah. Aku tak tahu.

Malam semakin larut. Aku masih membereskan kamar yang telah diporak-porandakan bayangan hitam. Aku diam saja. Tak mengeluh. Tubuhku lemas, sementara kamar masih seperti kapal pecah. Bayangan hitam menunggu disudut kamarku. Aku pura-pura tak melihat. Dia cekikikan melihatku membereskan hasil ulahnya.


Esoknya. Dikantin kantor. Saat jam makan siang. Aku masih kelelahan. Kantung mata membesar. Menghitam. Nia heran, “Dina, matamu hitam begitu.... sembab?” tanyanya perhatian padaku. “Semalam tidur jam berapa?”

Tidak Ada Lagi Harapan #puisi

Tidak Ada Lagi Harapan
(Puisi, Karya: Rahman Yaasin Hadi)

Harapan hanyalah
jalan menuju kepiluan

Kurawat perasaan di dalam hati.
Kubentengi setiap penglihatan dan pendengaran
supaya engkau tetap indah
bersemi dalam hati

Harapan hanyalah
angan-angan yang melarikanku dari kenyataan.

Nyanyian dari Atas Bukit #cerpen

“Nyanyian dari Atas Bukit”
(Karya: Rahman Yaasin Hadi)

Terdengar lagi suara merdu itu.

Orang-orang sudah tak berani mendekatinya, bahkan mereka melindungi telinga dan dadanya.

Beberapa waktu belakangan ini, selalu terdengar di setiap senja – bukit batas kota, nyanyian yang indah. Namun itu bukan keindahan yang biasa, sebab dalam hanyutnya suara itu begitu mematikan. Beberapa orang yang sengaja mendengar maupun tidak, telah menjadi korban. Mereka tewas. Mengenaskan dengan gendang telinga yang pecah, dan dada yang biru legam.

Dari penelitian forensik dan ahli fisika muncul suatu dugaan kuat: Nyanyian itu berasal dari penghayatan yang dalam, mengandung unsur frekuensi supersonik yang memekik-mekik. Getaranya merambat sangat cepat menuju gedang telinga, lalu berhenti dan mengumpul kedalam dada manusia, menggetarkan seluruh isi dadanya. frekuensi dan getaran itu hampir setara dengan energi yang dihasilkan oleh senyawa satu kilo bom atom.

Bunga Kertas Emas #cerpen



“Bunga Kertas Emas”

(Karya: Rahman Yaasin Hadi)


Bunga itu masih bersemayam di toples dalam kamarmu. Masih tersimpan, tiada berubah, masih cantik, secantik dulu. Nanti kamu bisa lihat bunga itu tersenyum, kelopaknya yang mekar dan runcing, menari-nari dalam ruang hampa udara toples beningmu. Tapi melihat Bunga Kertas Emas menari, kamu akan seperti diajaknya melihat dia, saat pertama kali membuatkannya untukmu.



Di sebuah senja, di taman batas kota. Waktu itu kamu bilang padanya, jika kamu tak suka melihatnya merokok, lalu dia berkata, jika dia akan membuatkanmu sebuah keindahan dari unsur rokok. Dia mengeluarkan bungkus rokok, mengeluarkan seluruh isinya, dan mengambil kertas kuningan, berwarna emas.



Dia mulai melipat dan melipat, kamu mengamati dengan sabar. Dia mencecap rokoknya lalu tersenyum manis padamu, kemudian melanjutkan melipat dan melipat, kamu masih sabar mengamati. Beberapa menit, terlihat bentuknya, dia persembahkan untukmu setangkai Bunga Kertas Emas. Kamu tersipu malu, sebab begitu indahnya bunga itu. Sejenak kamu lupa jika kamu kesal dengan kebiasaannya merokok.



Mencari Sapto (4-Selesai)

“Mencari Sapto”
-Bagian Empat-Selesai-
(Karya: Rahman Yaasin Hadi)


Semua orang memperhatikan. Pak Polisi siap dengan buku catatannya. Samsul terlihat tidak tenang, ia cemas, entah apa yang dipikirkannya.

“Pak, uang dua jutanya apa sudah bapak bayarkan ke toko?” tanya Heni. Samsul bertambah cemas menunggu jawaban. Pak Polisi memperhatikan, siap mencatat.

“Oooo... haha,” terdengar gelak tawa dari seberang, suaranya pecah-pecah beradu dengan bising kendaraan pada latar belakangnya, “Maaf bu... maaf... saya tidak memberikan kabar... kebetulan saat saya berangkat tadi, mobil saya mogok, jadi saya belum sempat membayar ke toko...” Kata suara dari seberang dengan enteng.

Di kantor Polisi semua berpandang-pandangan, merasa kaget satu-sama lain. Heni menyorotkan mata tak enak hati; Samsul memberikan sorotan malu; Pak Polisi memberikan sorotan kesal, matanya melotot.

Mencari Sapto (3)

“Mencari Sapto”
-Bagian Tiga-
(Karya: Rahman Yaasin Hadi)

Samsul kikuk, dihujani pandangan Pak Polisi dan Istrinya.

“Lho... Lho... Kok saya?” tak sadar keringat mulai keluar dari pori-pori Samsul, “Mah bukan papah lho! Kan papah yang mengajak ke kantor Polisi?” Samsul memandangi istrinya, berusaha meyakinkan. Kemudian berganti memandang Pak Polisi, “Pak bukan saya lho pak! bukan pak!”

“Makanya, tidak enak kan kalau dituduh? Kalau hanya curiga itu gampang. Untungnya Polisi adalah lembaga penegak hukum, bukan penegak politik. Oleh karena itu polisi harus bekerja berdasarkan fakta hukum pula. Apa Pak... Pak...” Pak Polisi berusaha mengingat nama, “Pak Samsul! Apa Pak Samsul sudah paham?”

Mencari Sapto (2)

“Mencari Sapto”
-Bagian Dua-
(Karya: Rahman Yaasin Hadi)

Terlihat, Heni sedang berusaha keras mengingat-ingat pembicaraannya dengan pak Andre tadi pagi. Kemudian memperagakan kisah pembicaraan di telponnya seperti sedang pentas monolog.

“Begini kurang lebih pak: Halo ibu Heni?... Ya saya, bagaimana pak Andre?... Ini bu, kursinya sudah sampai. Apa nanti sekitar jam sembilan, Ibu Heni dan Bapak Samsul ada di toko?... Oh mungkin belum, tapi ada Sapto pak. Bagaimana pak?... Hah! Maaf, Sapto?... Sapto-Sapto.... Iya, Sapto siapa?... Sapto pak – Sapto, itu yang sekarang jaga toko, pak... Oooo, ya – ya – ya, saya tahu.... Terus bagaimana pak?... Oiya lupa. Kalau begitu nanti sekitar jam sembilan itu saya ke toko ya? Dua juta, saya bayarkan tunai saja.... Lho biasanya di transfer, pak Andre?... Saya ingin sekalian minta kuitansi. Maaf, saya ragu, jika menunjukkan bukti transfer apa, maaf, apa nak Sapto akan mengerti nantinya... O yasudah pak, tidak jadi masalah... Baik bu Heni, jam sembilan-an ya?... Iya pak... Selamat pagi... pagi... begitu pak Polisi.” Pertunjukan monolog selesai. Heni memandangi pak Polisi yang mencatat-catat, sambil mengerutkan dahi.

Mencari Sapto (1)


“Mencari Sapto”
-Bagian Satu-
(Karya: Rahman Yaasin Hadi)

Uring-uringan terjadi antara Samsul – si suami, dan Heni – si istri, di toko mebel saat siang hari.

“Kamu dikasih tau ngeyel sih... Begini kan akibatnya?” Kesal Samsul pada Istrinya, Heni.

“Tidak menyangka akan begini pah... kan mamah niatnya baik? Mamah pengen nolong Sapto.” Heni membela diri.

Awal mula uring-uringan antara Samsul dan Heni adalah karena; ketika sampai toko, mereka tidak menemukan uang dua juta rupiah dalam laci. Bahkan sepersenpun tak ada. Sementara itu toko juga sepi. Benar-benar sepi. Mereka mencurigai; tidak adanya uang itu bersamaan dengan hilangnya Sapto, karyawan penjaga toko perabotan – mebel mereka yang masih muda, yang pernah ditemukan Heni lima hari yang lalu dari jalanan untuk kemudian dididik menjadi penjaga toko.

Ayah Pulang #cerpen #rekomendasi


“Ayah Pulang”

(Karya: Rahman Yaasin Hadi)


Hidup sebagai kepala keluarga yang beristri dan memiliki anak, di zaman sekarang ini ternyata sudah berbeda. Dulu waktu saya masih kecil, ketika Bapak pulang, saya, kakak, dan ibu saya, rajin menyambut Bapak dengan hangat.


Waktu itu kadang Ibu, kadang saya, kadang juga kakak saya rajin berseru; “Bapak pulang!” Setelah itu kami berhamburan dari kegiatan masing-masing, berkumpul menuju pintu masuk rumah, lalu antre satu-persatu untuk menciumi tangan Bapak. Setelah Bapak duduk kami berebutan untuk mencopoti sepatu serta kaus kaki beliau. Kami senang jika Bapak pulang, apalagi lebih senang rasanya jika Bapak membawa sesuatu, misalnya; makanan, atau bahan makanan untuk dimasak bersama-sama. Kepulangan Bapak selalu ditunggu-tunggu, sebab bukan hanya karena senang, tapi itu juga bentuk penghormatan kami pada beliau, yang sudah lelah bekerja membanting tulang untuk menghidupi keluarga.

Seperti yang saya katakan di awal tadi, lain dulu lain sekarang. Sebenarnya ingin sekali saya sebagai ayah ataupun suami diperlakukan istimewa ketika pulang. Tapi boro-boro distimewakan, disambut saja bisa dihitung jari. Seharian bekerja itu lelah, tapi lebih lelah lagi ketika mendapati rumah terasa dingin. Saya merasa seperti diacuhkan. Ketika saya pulang, istri dan anak-anak saya sibuk sendiri. Kadang malah mereka tidak ada dirumah, entah kemana. Saya maklumi, mungkin karena sosok ayah sudah tidak sentral lagi seperti dulu. Saya juga maklum, sebab istri saya juga bisa bekerja sendiri, bahkan gajinya lebih besar dari saya. Ya, saya maklum.


Tolong-Tolong #cerpen

“Tolong-Tolong”
(karya: Rahman Yaasin Hadi)

Tidak selamanya masalah pribadi menjadi hal pribadi.

Sudah beberapa kali aku mendengar percek-cokan dari rumah sebelah. Itu mungkin memang masalah pribadi mereka, dan hak mereka untuk meyelesaikannya. Namun suara makian, dan terkadang dihiasi bunyi pecah keramik saat beradu dengan lantai itu, sangat menggangguku secara psikologis. Aku mau-tak mau dipaksa terseret dalam imajinasi kekerasan-kekerasan yang membuatku cemas.

Malam ini seharusnya aku khusyuk lembur, menyelesaikan beberapa pekerjaan yang hampir tenggat waktu. Namun, kegaduhan, di tengah malam ini, betul-betul mengganggu konsentrasiku. Aku resah, dan kadang merasa takut ketika ada suara jeritan perempuan. Aku tak tahu tepatnya apa yang terjadi. Hanya terbayang kekejian-kekejian yang dilakukan.

“Tolong... Tolong...”


Goblok? #cerpen

“Goblok?”
(Karya: Rahman Yaasin Hadi)

Kemanakah perginya orang-orang? Saat langit sore diselimuti awan kelabu. Dan kemanakah perginya sinar matahari? Saat udara dingin masuk ke pori-pori. Inikah hati puitis? Disaat sore gerimis?

Dibutuhkan kesepian, untuk mati bunuh diri.

***

“Goblok! Goblok!” Tak henti-hentinya Viko mengutuki; orang yang mati bunuh diri.

Dengan sigap, Joni mematikan televisi.

“Lho kok dimatikan?” Protes Viko.

“Lha katanya goblok? Kenapa ditonton?” Jawab Joni enteng.

“Memang goblok Jon... Gila! Sinting! Bisa-bisanya bunuh diri, cuma gara-gara putus cinta? Ealah... Pikiran kok nggak digunain. Hidup masih panjang bro...” Tanpa tahu ditunjukan pada siapa, Viko emosi sendiri.

Ngidam #cerpen

“Ngidam”
(Karya: Rahman Yaasin Hadi)

Hal yang paling menggembirakan bagi seorang suami adalah ketika kehamilan kekasihnya. Kata suami disini digaris bawahi, sebab ini memang hanya berlaku bagi seorang yang sudah terikat dalam perkawinan sah. Bagi orang yang belum terikat perkawinan dan mendapati kekasihnya hamil tentu saja bukan gembira namun yang terjadi adalah kekacauan mental.

Gembira, tentu saja Joko merasa demikian. Namun kekhawatiran tidak bisa mencukupi kebutuhan ekonomi istri dan anaknya terasa sangat kuat dan berat di kepalanya. Saat ini saja Joko merasa terseok-seok memenuhi kebutuhan dirinya dan istrinya. Pegawai biasa, gaji pas-pasan, kredit motor, biaya kos-kosan, keperluan sehari-hari, dan sebagainya-sebagainya, sudah membuat Joko kembang kempis.

Joko, betapa pelik pikirannya kini, mendambakan lompatan kemapanan dan kesejahteraan sandang papan pangan[1].

“Mas...
Septiva menatap suaminya, Joko.

“Apa dek?”
Joko tak berpaling dari acara joged-joged di televisi.

“Pengen makan bebek goreng...
Septiva meminta dengan manja menempel pada suaminya.

Joko kaget, uang sudah habis tapi istrinya minta makanan yang tak murah.
“Kok bebek sih?”
Refleks, Joko dengan nada sedikit kesal.

Komitmen Anak Muda #cerpen #rekomendasi

“Komitmen Anak Muda”
(Karya: Rahman Yaasin Hadi)

Ada sepasang kekasih baru, yang usianya masih muda. Sang lelaki bernama ‘Santiago’, dan yang perempuan bernama ‘Luciane’. Dalam usia pacaran yang muda, mereka ingin membuat suatu komitmen dalam sebuah perjanjian. Perjanjian untuk tidak saling menyakiti – meninggalkan – dan menghianati.

“Luciku terkasih, kiranya kita masih merasa trauma dengan sakit hati asmara sebelumnya. Jadi bagaimana jika kita membuat suatu perjanjian?”

“Ya Santiku yang gagah, putus cinta itu terasa pedih, aku berpikir; kenapa seseorang yang jika sudah saling mencintai dan menyayangi harus berpisah? Bukankah cinta itu saling bersabar dan menjaga? Oleh karena itu aku setuju dengan usulanmu. Namun perjanjian yang bagaimanakah itu?”

“Luciku yang baik, bagaimana jika kita membuat komitmen untuk tidak saling menghianati dan meninggalkan?”

“Ya Santiku yang rupawan, lantas bagaimana dengan hukuman bagi yang melanggarnya?”

“Luciku yang menawan, bagaimana jika, salah satu dari kita yang melanggarnya duluan, dia akan disayat bibirnya dengan belati yang tajam?”


(Cerpen) Hatiku Disayat Sembilu

Hatiku Disayat Sembilu
(Karya: Rahman Yaasin Hadi)

Matahari condong kebarat, sinar panas – menghangat, bersiap membuka cakrawala sore. Cuaca masih gersang, namun angin bertiup sepoi. Dan Pohon besar serta dedaunan yang hijau melambai-lambai sambil berdesik – mengikuti irama angin. Langit silau, birunya menyala terang, dan awan putih ikut-ikutan kontras. Kupejamkan mataku, membiarkan dada – dikungkung seluruh indraku. Ingin sekali kularutkan perasaan ini, pada hawa yang mengintari. Ingin sekali kutitipkan kata hatiku, pada angin yang berputar-putar, dari angkasa menghembus bumi.
Sudah dua minggu, aku melankolis – tak kenal waktu. Di malam hari pikiranku mengharu biru, di pagi hari hatiku kaku, di siang hari dadaku kelabu, di sore hari perasaanku pilu. Hamparan kenangan itu, terus berayun-ayun. Jika kulukiskan hatiku, mungkin dapat terlihat telah menghitam, penuh keropos – dengan lubang-lubang dalam. Dua minggu aku karam, dalam samudra pedih yang mendalam.

(Cerpen) Musik yang Mengusik

“Musik yang Mengusik”
(karya: Rahman Yaasin Hadi)

    Ya ampun, itu hanya sebuah peristiwa. Tapi peristiwa apakah itu, tak bisa kupahami.  Benar, malam ini aku terusik. Dalam hatiku berdesir pilu. Aku dibayang-bayangi rangkaian nada, gerakan bunyi, dan perpaduan serasi yang menggetarkan dadaku. Tapi aku menyesal. Tak bisa kembali ke masa lalu. Andai saja aku tadi tak mendengarnya.
   Tadi sore ketika aku pergi ke sebuah toko buku, ada sebuah musik yang bergetar pelan saat diperdengarkan. Aku tertegun. Getarannya menghujam dadaku. Tanpa mau melewatkan warna harmoninya satu mili detikpun – aku khusyuk merasakan. Tak bergeming. Sampai pada saat musik itu selesai, ingin rasanya aku merengek supaya merasakannya lagi – dan ingin tahu judulnya – juga aku ingin tahu penciptanya. Namun, setelah menyadari diriku, aku hanya bisa kecewa.   

(Cerpen) Alarm

“Alarm”
(karya: Rahman Yaasin Hadi)

        Pernahkah kamu dengar bunyi alarm jam yang berdering tanpa henti dipagi hari? Yang kumaksud, alarm itu berasal dari rumah tetanggamu – yang terus berdering tak henti – memekakan telingamu. Menyebalkan bertetangga dengan orang yang tuli tapi selalu menjeritkan alarm. Rasanya ingin menggedor pintu rumah tetangga itu dan berteriak: woi, tuli! bangun! Matikan alarm konyolmu! Tapi itu hanya ingin. Nyatanyta aku sungkan dan tak berani. Hanya bisa menutupi telinga sambil tak henti-hentinya berharap; supaya dia cepat-cepat bangun, dan mematikan alarmnya.
Aku pernah dengar cerita tentang seorang yang berani. Sebentar, tapi, aku tidak yakin, dia itu berani atau gila. Cerita itu berasal dari mulut kakekku. Aku tak tahu apakah itu nyata atau karangan. Beliau menceritakan tentang temannya – seorang yang berani – atau gila yang kumaksudkan tadi – yang bernama Joko: Joko tinggal sendirian, mengontrak sebuah rumah di pedesaan, ia mempunyai tetangga, satu-satunya tetangga dari radius lima ratus meter. Tetangganya itu jika sudah tidur seperti orang mati. Parahnya tetangganya tak menyadari hal itu, dan tanpa tahu diri dia selalu menyalakan alarm untuk mulai menjerit dari jam tiga pagi.

KAMPUS BICARA (Bagian 3 - Selesai)

KAMPUS BICARA
(Bagian 3 - Selesai)

       Merekah sinar jingga dari sudut timur, menelisip di setiap sela-sela partikel. Berhembus sinar matahari itu di jendela kamarku, berteriak di mukaku bahwa kini telah pagi. Sinarnya cukup terang meski tak terik. sepertinya sudah waktunya aku harus bangun. Meringis aku berusaha membuka mataku selebar mungkin. Terasa berat diri digelayuti kantuk yang terkumpul semalam. Kuraba lantai kamar disamping tempat tidurku, Sial! Kulihat angka jam handphoneku 7.30! aku kesiangan! Rasanya ingin sembunyi saja dibalik selimut dan lembut kasur, melewatkan hari ini seperti lupa ingatan bahwa aku ada kuliah pagi.
       Aagghh…. lawan! Bergegas ku bangkit meski sedikit berkunang pandangan mata ini, menyiramkan air dingin di sekujur tubuhku, mengusap-usapi tubuh dengan busa sabun, meremas rambut dengan licin shampo, menghajar gigi dengan pasta gigi lalu meludah di lantai kamar mandi dengan keras! Sial kesiangan, aku harus cepat!

Mengenai Saya

Foto saya
Mari berteman, Twitter: @RahmanYH