Mencari Sapto (4-Selesai)

“Mencari Sapto”
-Bagian Empat-Selesai-
(Karya: Rahman Yaasin Hadi)


Semua orang memperhatikan. Pak Polisi siap dengan buku catatannya. Samsul terlihat tidak tenang, ia cemas, entah apa yang dipikirkannya.

“Pak, uang dua jutanya apa sudah bapak bayarkan ke toko?” tanya Heni. Samsul bertambah cemas menunggu jawaban. Pak Polisi memperhatikan, siap mencatat.

“Oooo... haha,” terdengar gelak tawa dari seberang, suaranya pecah-pecah beradu dengan bising kendaraan pada latar belakangnya, “Maaf bu... maaf... saya tidak memberikan kabar... kebetulan saat saya berangkat tadi, mobil saya mogok, jadi saya belum sempat membayar ke toko...” Kata suara dari seberang dengan enteng.

Di kantor Polisi semua berpandang-pandangan, merasa kaget satu-sama lain. Heni menyorotkan mata tak enak hati; Samsul memberikan sorotan malu; Pak Polisi memberikan sorotan kesal, matanya melotot.

“O yasudah terimakasih pak”

“Baik bu... maaf ya saya tidak memberi kabar... maaf bu, mungkin nanti agak sore... hehe.”

Heni menutup telepon sambil meringis pada Pak Polisi, lalu memandangi Suaminya seakan-akan berkata; bagaimana ini pak? Samsul membalasnya seakan berseru; aduh!

Terdengar Pak Polisi menghela nafas panjang. Heni dan Samsul diam saja, tak berani berkata-kata lagi.

“Lain kali...,” kata Pak Polisi dengan sabar, “kalau ingin memberikan laporan... tolong... tolong dipastikan dulu keadaannya... apakah sudah layak dilaporkan atau belum.” Terdengar Pak Polisi menghela nafas lagi, kemudian menggeleng-geleng sambil memegangi keningnya.

“Maaf ya pak... maaf...” kata Heni dengan terbata-bata.

“Iya, silahkan meninggalkan kantor ini... terimakasih.” Pak Polisi menampakkan tangannya pada pintu keluar kantor Polsek.

Dengan perasaan bersalah, malu, dan tak enak hati, Samsul dan Heni undur diri. Masuk kedalam mobil dan mengarah kembali ke toko.

“Aduh bagaimana sih mamah...” Sambil menyetir, Samsul menyalahkan Istrinya.

“Ya mamah tidak tahu, pah... yang panik duluan kan papah...”

“Ya mamah kok tidak memastikan dulu,”  keluh Samsul sambil tangan kirinya memegangi kening.

“Yasudah ya pah, jangan diperpanjang lagi...”

Samsul menarik nafasnya panjang-panjang.

“Sekarang, masalahnya, Sapto kemana, ya pah?”

“Tak tahu-lah.” Jawab Samsul ketus.

“Jangan galak-galak pah kalau sama Sapto...”

“Hmmm....” Samsul bergumam.

Tiba didepan gerbang toko mebel. Ada seorang anak jalanan, masih bocah, laki-laki, pakaiannya kumal. Samsul dan Heni terheran-heran.

“Husy! Disini tidak melayani sumbangan...” Usir Samsul.

Sang bocah merasa tersinggung, tatapannya sinis. Tanpa berkata-kata ia mengulurkan secarik kertas pada Heni, lalu angkat kaki kemudian.

Samsul membuka gerbang. Heni mengamati secarik kertas itu, lalu dibukanya. Ternyata sebuah surat, dituliskan dengan tulisan yang jelek, dari Sapto.

“Pah... Pah.. Dari Sapto pah...” Seru Heni memanggil perhatian suaminya.

“Daripada ngurusin Sapto mendingan bantuin Papah buka toko.” kata Samsul tak peduli.

Heni membaca surat itu:
“Ibu Heni, dan bapak Samsul yang terhormat. Tadi pagi saya pergi tidak bilang-bilang. Maaf tokonya lupa saya kunci. Maaf ibu Heni dan bapak Samsul, saya pergi tidak bilang-bilang. Hidup saya bukan disini. Terimakasih Ibu Heni yang sudah memperhatikan dan merawat saya seperti anak sendiri. Tapi waktu bapak Samsul sering marah-marah, mungkin benar saya tidak cocok di tempat ini. Ibu Heni, saya pulang kerumah saya. Rumah saya di jalanan. Jalanan itu percaya dengan saya. Salam super, Sapto.”

-SELESAI-


Yogyakarta, 2 Maret 2014

Mengenai Saya

Foto saya
Mari berteman, Twitter: @RahmanYH