Komitmen Anak Muda #cerpen #rekomendasi

“Komitmen Anak Muda”
(Karya: Rahman Yaasin Hadi)

Ada sepasang kekasih baru, yang usianya masih muda. Sang lelaki bernama ‘Santiago’, dan yang perempuan bernama ‘Luciane’. Dalam usia pacaran yang muda, mereka ingin membuat suatu komitmen dalam sebuah perjanjian. Perjanjian untuk tidak saling menyakiti – meninggalkan – dan menghianati.

“Luciku terkasih, kiranya kita masih merasa trauma dengan sakit hati asmara sebelumnya. Jadi bagaimana jika kita membuat suatu perjanjian?”

“Ya Santiku yang gagah, putus cinta itu terasa pedih, aku berpikir; kenapa seseorang yang jika sudah saling mencintai dan menyayangi harus berpisah? Bukankah cinta itu saling bersabar dan menjaga? Oleh karena itu aku setuju dengan usulanmu. Namun perjanjian yang bagaimanakah itu?”

“Luciku yang baik, bagaimana jika kita membuat komitmen untuk tidak saling menghianati dan meninggalkan?”

“Ya Santiku yang rupawan, lantas bagaimana dengan hukuman bagi yang melanggarnya?”

“Luciku yang menawan, bagaimana jika, salah satu dari kita yang melanggarnya duluan, dia akan disayat bibirnya dengan belati yang tajam?”


Luciane Terperanjat kaget.

 “Oh Tuhan! Apa kamu sungguh-sungguh mengatakannya?! Santi sayang, begitukah hukumannya?!”

“Kenapa harus takut Luciku yang cantik? Bukankah tak ada yang harus ditakutkan? Salah satu dari kita tidak akan saling menghianati dan meninggalkan bukan?”

“Iya Santiku, namun kenapa sesakit itu hukumannya?!”

“Luciku, bukankah rasa sakit di bibir tidak ada bandingannya dibanding sakit hati? Bukankah kamu mencintai dan menyayangiku?”

Dengan berat Luciane kemudian setuju.

“Baiklah Santiku, dengan asumsi aku tidak akan pernah menghianati dan meninggalkanmu, maka aku menyetujuinya.”

“Ya Luci, sayangku, aku berani mengusulkan hukuman yang demikian, sebab aku juga yakin, aku akan selalu menjagamu, mencintaimu, menyayangimu sepenuh hatiku, dan tak akan menghianati ataupun meninggalkanmu.”

Santi tersenyum. Mereka tersenyum. Mereka lalu saling melingkarkan kelingkingnya, tanda kesepakatan.

Untuk memberikan kepastian penegakan sanksi, mereka kemudian mengikatkan diri pada seorang algojo bayaran yang terkenal sadis – berdarah dingin – dan memegang teguh segala macam janji. Mereka menginginkan sang algojo bayaran untuk bertindak sebagai penegak perjanjian. Sang algojo bayaran menyanggupi dengan bersyarat: lima ekor kuda jantan. Tarif yang lumayan mahal itu diajukan oleh sang algojo sebab perjanjian antara Santiago dan Luciane berlawanan dengan hukum, dan beresiko besar. Apabila sang algojo ketahuan mengeksekusi; menyayat bibir salah satu dari mereka, sang algojo bisa mendapatkan hukuman dari pengadilan atas dakwaan penganiayaan.

Tapi Santiago dan Luciane tidak mempunyai kuda, bahkan belum cukup uang untuk membelinya. Satu-satunya harta berharga yang dimiliki mereka adalah: Liontin emas milik Luciane – dari pemberian ayahnya, dan cincin zamrud milik Santiago – dari pemberian Ibunya. Mereka lalu menawar permintaan lima ekor kuda jantan itu dengan dua harta berharga yang satu-satunya mereka miliki.

Setelah menaksir-naksir, lalu dengan berat akhirnya algojo menyetujui. Mereka bertiga lalu menuangkan seluruh isi perjanjian diatas selembar kertas, dan menandatanganinya.

“Dengan ini, maka aku telah berwenang! Jika nanti kudengar hubungan kalian berakhir?! Akan kuselidiki – siapa yang melanggar perjanjian. Bagiku, janji adalah janji! Siapapun tak boleh mengingkari janji! Sebusuk apapun janji itu, sesulit apapun alasanya, hanya mati yang boleh mengakhiri janji!”. Sang algojo bayaran mengancam dengan nada menggeram. Sesaat, Santiago dan Luciane menelan ludah, mereka sadar, telah terjebak dalam bayang-bayang jurang dalam – yang mereka ciptakan sendiri. Namun janji tetaplah janji, mereka ingin saling terus menjaga – sampai mati.

Pada tiga-empat bulan Santiago dan Luciane pacaran, hubungan mereka terlihat begitu mesra, sampai seluruh teman-temannya iri jika melihat kehangatannya yang terus terjaga. Pun kemesraan itu berlanjut pada lima-enam, tujuh-delapan bulan berikutnya, sungguh tak ada orang yang bisa mengganggu kekompakan dan kebahagiaan mereka, sampai-sampai seluruh mantan-mantan yang pernah menyakiti dan meninggalkan mereka sebelumnya – merasa gerah, tak rela Santiago dan Luciane bisa sebahagia itu.

Kekuatan ikatan dan kemesraan Santiago-Luciane terdengar, berdesas, berdesus kemana-mana. Teman-teman mereka banyak yang merasa simpatik, dan kagum. Mereka banyak berkonsultasi, dan menanyakan apa yang menjadi rahasia kemesraan hubungan itu. Santiago dan Luciane menjawab; komitmen, keseriusan membangun hubungan, dan tidak meninggalkan dalam alasan apapun. Mengenai perjanjian, pengorbanan, dan hukuman, tetap mereka rahasiakan.

Semakin bulan Santiago dan Luciane semakin populer. Bahkan sampai ada beberapa temannya yang saling berjudi, menjagokan berapa lama lagi mereka bertahan. Dan juga ada teman-teman pengganggu, yang sengaja ingin merusak hubungan mereka, menggodanya dengan lelaki yang lebih ganteng, ataupun wanita yang lebih cantik. Namun Santiago dan Luciane tetap kukuh, tak tersentuh godaan sememabukan apapun. Sampai-sampai para pengganggu itu menyerah.

Godaan yang terbesar ternyata bukan dari luar, melainkan dari dalam diri sendiri. Selayaknya hubungan biasa, naik turun kemesraan itu pasti. Beberapa masalah dan ketidak mesraan yang dalam kurun waktu tiga tahun pacaran –  telah bisa diatasi Santiago dan Luciane, sudah membuat teman-temannya berdecak kagum. Namun kali ini ada masalah yang disembunyikan dalam hati, dan tak ada teman-temannya yang mengetahui: kejenuhan.

Tiga tahun pacaran ternyata menjenuhkan. Santiago merasa, dalam satu tahun belakangan Luciane sudah tak sehangat dulu. Ia juga merasa Luci sekarang lebih banyak menjadi pendiam – tak terbuka padanya, dan tak bisa lagi memberikan rasa puas ketika Santiago bercerita. Sementara Luciane, ia merasa Santiago sudah tak memperlakukannya seperti ratu. Luciane merasa bahwa dalam satu tahun belakangan, Santiago terlalu mementingkan dirinya sendiri, dan mulai tidak memberikan rasa nyaman pada Luciane untuk bercerita.

Di sebuah senja yang hampir menua, Santiago dan Luciane duduk di kursi taman. Mereka saling hening, berkutat dengan pikiran – perasaan – dan prasangka masing-masing. Santiago menunggu Luciane mengeluarkan sepatah kata, untuk mengatakan mengapa ia tak hangat lagi. Luciane menunggu perasaannya terasa nyaman, untuk mengutarakan dengan tepat atas sikap dinginnya selama ini.

Tanpa tahu siapa yang memulai bicara duluan, ternyata dialog sudah mulai jalan.

“Mungkin San, setiap orang pasti punya kesalahan, begitu juga denganku”.

“Ah sialan kau!”

Luciane terbelalak, tak percaya Santiago mengumpatnya, ditatapnya Santiago namun ia melengos – tak peduli – dalam emosi.

“K..k..Kau?”

Luciane matanya berkaca-kaca.

 “Ya, kau sialan!”

Santiago tetap mengumpatinya. Luciane menutup muka dengan telapak tangan dan mulai menangis sesenggukan.

“Kalau kau terbuka padaku, kalau kau cerita padaku dari dulu, apa yang jadi masalahmu, semua tidak akan begini. Kita tak akan terjebak dalam kejenuhan begini. Aku bosan denganmu. Frustasi aku memahamimu. Bukan hanya aku yang menang sendiri, tapi coba kau pikir? Apakah aku cenayang? Yang bisa membaca pikiran? Sudah aku minta kau bicara, tapi apa kau pernah bicara?” Rasa kesal Santiago meledak-ledak.

Lebih deras air mata Luciane, tak kuat menahan perasaannya, dan pedih hatinya dikata-katai. Sejenak kemudian Santiago menyesali emosinya yang tak terkendali. Hanya bisa tertunduk kaku, menyesal, memegangi kepalanya erat-erat, dan mengutuki dirinya atas apa yang telah ia umpatkan.

Santiago berusaha minta maaf, namun mulutnya terkunci. Ia coba raih tangan Luciane, namun Luciane menolak. Tiba-tiba Santiago ingat dengan perjanjian, dia terkejut, kaget, ia takut Luciane meminta berpisah, dan nantinya bukan hanya hati Luciane saja yang terluka, tapi juga bibirnya. Santiago panik, tak ingin berpisah, dan tak inign Luciane terluka lagi.

Tiba-tiba, dengan suara terbata-bata, dan sesenggukan dada, “San, aku –  sudah –  tak kuat –  lagi – denganmu. Aku akan – aku – akan  meninggalkanmu – lebih baik – kita – kita – ber – pisah”.

Mulut Santiago menganga lebar, matanya terbelalak, tak percaya.

“Oh Luci, Mm...ma...Maafkan aku Luci”. Mulut Santiago berat.

Luciane menggeleng, tangisnya terisak, nafasnya tersendat-sendat.

“Luci, kamu tahu kan? Perjanjian? Oh tidak! Jika memang harus berpisah Jangan kamu! Oh Tuhan! Biar aku saja yang meninggalkanmu dan pergi ke algojo. Oh Luci!”

“Selamat – ting – gal San, mu – dah-mu –  dahan ka– mu bahagia”, Ucap Luci dengan nafas yang tersendat dan terbata. Luciane lalu melangkah pergi membawa air matanya yang berlinang.

Santiago tak percaya atas semua yang terjadi. Ia merasa menyesal. Lalu karena tak ingin menyakiti Luciane lagi, ia ingin membayar semua kesalahannya dengan berlari menemui sang algojo.

“Tuan, saya telah meninggalkan Luciane. Sayat bibir saya tuan. Dan setelah itu perjanjian berakhir. Tak ada yang harus disayat lagi selain saya.”

Algojo dengan cepat mengeksekusi, darah mengucur deras dari bibir Santiago, Ia menjerit-jerit kesakitan tanpa henti.

Beberapa hari berlalu, luka di Bibir Santiago mengering. Sekarang ia menjadi seperti orang sumbing. Selama dalam pengeringan luka lalu, Santiago tak pernah bertemu Luciane lagi. Sampai pada suatu ketika Santiago hendak pergi ke ladang, ia melihat Luciane. Santiago tertegun, melihat bibir Luciane terbelah horizontal.

Singkat cerita, Santiago tahu dari temannya jika Luciane menyayat bibirnya sendiri.


Yogyakarta, 22 Februari 2014.

Mengenai Saya

Foto saya
Mari berteman, Twitter: @RahmanYH