Tolong-Tolong #cerpen

“Tolong-Tolong”
(karya: Rahman Yaasin Hadi)

Tidak selamanya masalah pribadi menjadi hal pribadi.

Sudah beberapa kali aku mendengar percek-cokan dari rumah sebelah. Itu mungkin memang masalah pribadi mereka, dan hak mereka untuk meyelesaikannya. Namun suara makian, dan terkadang dihiasi bunyi pecah keramik saat beradu dengan lantai itu, sangat menggangguku secara psikologis. Aku mau-tak mau dipaksa terseret dalam imajinasi kekerasan-kekerasan yang membuatku cemas.

Malam ini seharusnya aku khusyuk lembur, menyelesaikan beberapa pekerjaan yang hampir tenggat waktu. Namun, kegaduhan, di tengah malam ini, betul-betul mengganggu konsentrasiku. Aku resah, dan kadang merasa takut ketika ada suara jeritan perempuan. Aku tak tahu tepatnya apa yang terjadi. Hanya terbayang kekejian-kekejian yang dilakukan.

“Tolong... Tolong...”


Sayup-sayup namun jelas, kudengar suara perempuan minta tolong. Aku takut, khawatir, sekaligus bingung, aku bisa apa? Harus apa? Jika aku mengedor pintunya sendirian aku nanti disangka sok pahlawan, yang ingin mencampuri urusan kerumah-tanggaan. Duduk perkaranya saja aku tak tahu. Belum lagi pria di sebelah itu sedikit preman dan perawakannya kekar. Bisa-bisa aku dibacoknya! Ah apa yang harus kulakukan?. Aku ingin lapor pada pak RT, tapi ini sudah tengah malam. Kenapa suara minta tolong itu berasal dari dalam rumah? Andai minta tolong itu diteriakkan diluar rumah, aku lebih berani mencampuri, sebab yurisdiksi-daerah kewenangannya sudah berubah; dari urusan internal rumah, menjadi urusan internal kampung, yang setidaknya pasti ada orang lain dengar, dan aku tak menolongnya sendirian.

“Tolong... Tolong...”

Oh Tuhan! Kudengar lagi suara minta tolong itu, dan masih berasal dari dalam rumah. Aku takut jika terjadi penyiksaan. Bagaimana jika perempuan itu mati? Oh tidak! Aku harus bagaimana?!

Sudah kutelepon berkali-kali namun nomor ponsel pak Rozak, kiyai masjid kampungku, tapi tak aktif. Pak Sangidi kutelepon juga kemudian, namun tak diangkat-angkat, mungkin nada dering ponselnya dimatikan, di malam jum’at ini.

Dokumen kerjaku belum selesai, masih terlampau banyak, tapi ini sudah jam satu. Sudah tak kudengar lagi jeritan minta tolong. Namun sayup-sayup kudengar suara makian laki-laki, dan isak tangis perempuan. Astaga! Apa yang terjadi?

Haruskah kutelepon Polisi? Ah, yang kutahu, dalam undang-undang, KDRT adalah delik aduan. Aparat tak akan bisa memprosesnya jika tidak dari pihak yang bersangkutan melaporkannya sendiri. Tapi kutahu juga masyarakat bisa berpartisipasi mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan. Aku ragu, bimbang, cemas, takut, tak cukup keberanianku untuk turut andil dalam peleraian.

“Tolong...Tolong...”

Sialan! Suara minta tolong lagi. Dari dalam rumahnya lagi. Nanti pasti berakhir, lebih baik aku menyumbat telingaku dengan musik – rapat-rapat, lebih baik aku tidur, pura-pura tak tahu. ku stel alarmku di jam subuh, berharap semuanya berakhir, dan aku bisa konsentrasi menyelesaikan pekerjaan kantor.

Jam empat alarm berdering. Rasanya ngantuk dan lemas sekali hanya tidur dua jam. Aku hanya bisa mengerjapkan mataku dan membayangkan betapa letihnya hari ini akan kujalani. Aih! Betapa beratnya rutinitas yang harus kujalani.

Suara dari rumah sebelah sudah sepi. Syukurlah kini aku bisa konsentrasi.

Jam setengah enam, dokumen kerjaku sudah lumayan selesai, tapi aku capek, tak bisa melanjutkan lagi, biar nanti ku sempurnakan saat dikantor saja.

Aku terperanjat! Rumah sebelah sudah ramai polisi dan warga.

Aku pergi ke teras membawa secangkir kopi, ingin mengambil koran pagi, dan kudapati rumah tetanggaku ramai sekali. Astaga! Degub jantungku kencang. Ada apa dengan tetangga sebelah?

“Pak ada apa?” Basa-basi kutanya pada Mas Pardi yang tangannya petenteng mengamati keributan.

“Lho mas nggak tau?” Kulihat mukanya sinis.

Aku pura-pura bodoh. “Ada apa memangnya mas? Kok ramai polisi?”

“Istrinya dibacok mas! Pingsan! Sekarang dilarikan ke rumah sakit!”  Serunya padaku dengan setengah berbisik.

Astaga! Kopi di tanganku rasanya mau jatuh. Sebentar-sebentar jantungku rasanya berhenti lalu berdegub kencang lagi.

Dua orang polisi mendekatiku. Aku gugup.

“Selamat pagi pak...” Sapa salah seorang Polisi.

“P..Pagi pak.” Jawabku gugup.

“Sebagai tetangga, apakah bapak mengetahui apa yang terjadi?”

“Wah, saya tidak tahu apa-apa pak, benar saya tidak tahu, sumpah!” Dengan gugup, aku berbohong. Takut, jika aku jujur bisa-bisa aku terlibat karena melakukan pembiaran.

Yogyakarta, 25 Februari 2014



Mengenai Saya

Foto saya
Mari berteman, Twitter: @RahmanYH