“Goblok?”
(Karya: Rahman Yaasin Hadi)
Kemanakah
perginya orang-orang? Saat langit sore diselimuti awan kelabu. Dan kemanakah
perginya sinar matahari? Saat udara dingin masuk ke pori-pori. Inikah hati
puitis? Disaat sore gerimis?
Dibutuhkan
kesepian, untuk mati bunuh diri.
***
“Goblok! Goblok!” Tak henti-hentinya Viko
mengutuki; orang yang mati bunuh diri.
Dengan sigap, Joni mematikan televisi.
“Lho kok dimatikan?” Protes Viko.
“Lha katanya goblok? Kenapa ditonton?” Jawab Joni
enteng.
“Memang goblok Jon... Gila! Sinting! Bisa-bisanya
bunuh diri, cuma gara-gara putus cinta? Ealah...
Pikiran kok nggak digunain. Hidup masih panjang bro...” Tanpa tahu ditunjukan pada siapa, Viko emosi sendiri.
Belum selesai Joni bicara, Viko sudah memotong.
“Lho jadi kamu pro dengan orang yang bunuh diri?!
Kukira kamu orang beriman Jon...” Kata Viko dengan nada menantang.
“Lho kamu malah menuduhku tak beriman... yang
kumaksudkan, kalau terus berlogika, kamu tak akan pernah mengerti, kenapa orang
itu bunuh diri. Butuh perasaan Vik, untuk memahami.” Ujar Joni dengan sabar.
“Sudah sinting kamu Jon!” Tuding Viko, lalu pergi
dengan kesal, meninggalkan Joni sendiri.
Joni hanya terkekeh-kekeh.
***
Barangkali
aku masih ingat ketika dulu tak sependapat dengan Joni. Barangkali kini aku
sadar, kadang logika tak akan bisa memahami – seperti halnya perasaan bekerja.
Dibutuhkan
kepedihan, untuk mati bunuh diri.
***
“Tapi... Tapi...” Viko Terbata-bata. Ia masih tak
percaya, dengan apa yang diucapkan Andria.
“Tidak perlu kamu tanyakan kenapa, jika itu
hanyalah alasan, jika itu hanya pikiran.” Nadanya datar. Andria menatap kosong,
menerawang langit senja dengan mata nanar.
“Ann.. Tidakkah kamu beri aku kesempatan? Atau
hanya sekedar aku menjelaskan?” Dengan wajah memelas, Viko memohon.
Andria menggeleng.
“Maaf Vik... hiduplah dengan logikamu.” Matanya memerah, menahan air
mata.
“Selamat tinggal Vik...” Perlahan Andria pergi.
Viko masih tertegun. Tak percaya. Hanya bisa memandang; punggung Andria yang
perlahan menjauh.
***
Mungkinkah
setan yang mengirim puisi? Saat hati begitu sepi. Mungkinkah Iblis yang
menginspirasi? Saat pikiran tak terisi lagi.
Selamat
tinggal dunia, maafkan aku Tuhan.
Aku
hanya ingin dikenang, oleh air mata – air mata yang memperhatikanku. Aku hanya
ingin menjadi bunga yang gugur, harum namanya seperti pahlawan.
Dibutuhkan
kesunyian, untuk mati bunuh diri.
***
“Goblok! Goblok! Gobloookk! Guoblookk!!” Miko
Geram, membaca buku harian milik Viko. Dibantingnya buku itu dan dimaki-maki
dengan penuh emosi.
“Mik.. kenapa mik? Kenapa?” Sandy meraih pundak Miko,
lalu menatap matanya dengan heran, dan khawatir.
“Ini San... Viko... Ah goblok! Orang kok goblok
banget! Ya ampun, gobloknya! Goblok! gobloookkk!” Jawab Miko dengan gemas.
“Lho kenapa Mik?! Viko?! Kenapa Viko?! Siapa Viko?!”
Sandy menghujani dengan penasaran.
“Mati Mik... Mati... dia mati, bunuh diri! Aduh,
kemana imannya?! Kemana pikirannya?! Ya ampun, puisi macam apa itu?! Mati bunuh
diri itu bukannya namanya menjadi harum dan dikenang, tapi hanya dicaci dan
digoblok-goblokkan... aduh Viko-Viko!”
Sandy hanya terkekeh.
Yogyakarta, 24 Februari 2014.