Caleg #cerpen

“Caleg”
(Cerpen, karya: Rahman Yaasin Hadi)
Dimuat di Kedaulatan Rakyat, edisi minggu 30 Maret 2014

Ilustrasi: Joko Santoso - KR

Selama 15 tahun tidak bertemu, dan tak ada kabar, tahu-tahu dia sudah sekaya ini? Aku kaget ketika bosku memberitahu akan ada proyek pengaspalan jalan di Kampung Gondolayu, dengan nilai proyek ratusan juta.  Tapi aku lebih kaget lagi ketika bosku bilang pendanaan proyek pengaspalan itu dari seseorang yang bernama: Abdul Mustofa. Ah, itu adalah Abdul, sahabat karibku. Ingin rasanya kujitak kepalanya dan kumaki-maki dia. Kenapa dia tak memberi tahuku jika sudah menetap di Yogya? Sungguh, aku kangen sekali dengannya, teman baikku saat masih kuliah sarjana satu dulu. Sudah sangat sukses rupanya dia sekarang. Bangga sekali rasanya aku.

Setelah menanyai alamat rumah Abdul pada bosku, akhirnya aku menemukan sebuah rumah mewah nan megah. Luar biasa, rumahnya seperti istana. Tapi setelah mencermatinya, aku terheran-heran sekaligus kaget bukan kepalang. Rumah nya dipenuhi dengan bendera partai dan baliho besar bergambar wajahnya; Haji Abdul Mustofa, SH. M.Hum. Caleg DPRD. Aku masih ingat betul, ketika mahasiswa dulu dia sering berorasi didepanku mengutuki politik praktis. Namun sekarang ia terjun juga. Mungkin sudah banyak hal yang terjadi padanya lima belas tahun ini.
Rumah sebesar ini, meski milik sahabatku sendiri ternyata sulit untuk aku bertamu. Sebelum diizinkan masuk, aku harus berdebat dan meyakinkan mati-matian pada para pengawal jika aku benar-benar tamu, dan sahabat karib pemilik rumah. Setelah masuk pun aku masih harus dipaksa oleh para pengawal untuk antre dulu. Ya, akhirnya aku rela antre hampir dua jam lamanya. Aku harus menunggu para tamu yang datang naik mobil-mobil mewah pada pulang.
“Ah, Andi,” Abdul menjabat tanganku erat, sambil menyilakan aku duduk. Tiba-tiba aku merasa urung untuk menjitak dan memakinya dengan rasa kangen, sebab ia terlihat sangat gagah sekali. Wajahnya memang tidak terlalu banyak berubah. Kumisnya masih sama, tipis panjang. Rambutnya masih pendek disisir kebelakang, meski kini lebih klimis. Rahangnya tetap persegi dan nampak kokoh. Namun penampilannya kini berbeda. Sungguh berkelas tinggi. Pakaiannya jas lengkap dengan tekstur licin halus. Batu zamrud dan intan berkilau di kedua jari manisnya. Jam tangan mengkilat-kilat di pergelangan tangan kirinya. Juga sepatu dari kulit yang bersih tiada cacat di kedua kakinya.
“Bagaimana kabarmu, Dul? Aku baru tahu jika kamu mencalonkan DPRD,” tanyaku dengan menahan rasa kangen sambil sedikit-sedikit menatapi ruang tamunya yang penuh perabotan mewah.
“Ya, beginilah,” kata Abdul dengan senyumnya, sambil membentangkan tangan.
“Gila kau, Dul! Sudah sesukses ini rupanya kau! Sudah berapa lama menetap di Yogya? Kenapa tak beri kabar, kau?”  Kuluapkan rasa kangenku yang tak bisa dibendung lagi. Ingin sekali kupeluk Abdul, lalu ingin sekali kujepit kepalanya dengan siku tanganku sampai dia tertawa terbahak-bahak karena kepalanya merah dan susah nafas. Tapi hanya ingin.
“Hehe... ya, ya, ya....” Hanya tawa sepersekian detik, dan gumaman singkat disertai anggukkan saja yang kudapat. Rasa kangenku tak berbalas. Tak apa, aku maklum, dia memang sudah jadi orang hebat, mungkin orang hebat memang harus khidmat supaya terlihat keren.
“Mau minum apa?” tanyanya.
Aku menggeleng.
“Baiklah, ada yang bisa saya bantu?” pertanyaannya menusuk hatiku, menegaskan bahwa memang ada jarak yang lebar antara aku dan Abdul. Kuhela nafas panjang.
“Oya, Dul, benar ya kamu mendanai pengaspalan kampung Gondolayu?” tanyaku mencoba membuat pembicaraan mengalir.
“Iya, benar sekali. Kampung itu memang butuh perhatian. Sebagai orang besar, memang seharusnya bisa mendengar aspirasi rakyat kecil.” Kurasai nada bicara Abdul besar sekali. Sepertinya ia bangga dengan kemegahannya sekarang.
“Bagaimana, ada hal lain yang lebih penting yang bisa saya bantu?” Pertanyaannya telak. Kurasai seperti mengusirku. Mungkin ia benar-benar sibuk. Atau merasa sudah tak pantas lagi berkawan denganku.
“Ah, tidak-tidak, aku cuma ingin menengokmu saja, Dul. Sudah lama kita nggak ketemu. Sudah lama sekali kita nggak nongkrong bareng,” aku berkilah untuk menutupi perasaanku .
“Aku pamit dulu, Dul,” kataku undur diri. Perasanku sudah tidak nyaman di istana ini. Abdul mempersilakan dengan menampak telapak tangan kirinya.
“Mudah-mudahan kamu sukses, Dul.”
“Ya, ya,” jawab Abdul sambil sibuk dengan BlackBerrynya
“Aku bangga padamu, Dul.”
“Ya, ya, ya.”
“Akan kudoakan supaya kamu sehat selalu, Dul.”
“Ya.”
Air mataku hampir menetes. Gayung kerinduanku tak bersambut. Aku kemari ingin menemui Abdul sahabat karibku, tapi aku tak berhasil bertemu dengannya. Aku hanya bertemu sosok lain dalam diri Abdul. Sosok yang sangat besar, dan membuatku ciut.
Belum lagi kuusap kaca-kaca di selaput mataku, tiba-tiba didepan gerbang aku dicegah para pengawal pribadi yang bertubuh kekar. Kukira hendak diapakan aku, ternyata mereka memberikanku sebuah selebaran berisi biografi singkat dan visi-misi Abdul, juga ada sebuah amplop putih terselip. Kutampik semua-mua itu. Dan dengan rasa pedih, aku melangkah gontai, pergi.
***
Waktu terus berderap. Pemilu telah lewat. Di halte bus kota, hatiku pilu. Kukenang lagi masa-masa kompakku dengan Abdul. Sewaktu dia ngekos dulu, dia sering kerumahku untuk minta kopi dan rokok, bahkan kadang aku lebih berbaik hati lagi dengan mengajaknya makan. Lalu aku masih ingat betul, hampir setiap Jumat malam sampai Sabtu dini hari aku dan Abdul ngobrol ngelantur kesana kemari di Malioboro. Aku juga tak akan lupa saat sebelum sholat Jumat, aku dan Abdul selalu berdebat dan menolak supaya tidak menjadi imam.
Dimanakah sahabatku itu? Dimanakah sahabatku yang saling merangkul erat denganku saat wisuda dulu?
“Orang gila... orang gila... orang gila....” Dari seberang halte kulihat gerombolan anak kecil menyoraki orang yang berpakaian compang camping. “Orang gila... orang gila... orang gila....”
“Abdul Mustofa-kah itu?” bisikku.

Yogyakarta, 2014.

0 Komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Mari berteman, Twitter: @RahmanYH