ABSUDITAS KESUNTUKAN

Eksperimentalisme eksistenisalisme absurd

ABSUDITAS KESUNTUKAN

       Melintasi malam yang sepi... Sesepi hati yang bersembunyi.
                Seorang pemuda yang sehabis latihan Teater, bercelanakan training olahraga, berkaos hitam bau kecut keringat yang ditutup dengan jaket kulit hitam beraroma lemari kayu. Di pergelangan tangan melekat sebuah jam stainlesstel yang menunjukan pukul 12 malam. Di jari tengah kiri melingkar erat sebuah cincin dengan mata batu obsidian berwana hitam mewah.
                Brmmm... motor dinyalakan, suaranya menderu ketika dia memainkan gas. Rokok filter menyelip dibibir untuk dihisap dalam-dalam, sedalam kegundahan yang bersembunyi di hatinya. Pemuda itu tancap, meninggalkan kampus sastranya. Dia orang terakhir yang pulang dari latihan teater malam.
                Hawa malam yang dingin terasa sejuk ketika menerjang tubuh, pori-pori kulit yang masih
membuka. Sejuk menusuk kedalam dadanya, tapi tidak hatinya. Ia mahasiswa sastra mahir mengekspresikan dengan kata-kata, dan ia anggota sebuah perkumpulan teater yang mahir mengolah karakter, tetapi sebenarnya ia pecundang. Ia hanya hebat diatas panggung, ia hanya hebat dalam pementasan, hanya hebat dalam menggoreskan tinta kebohongan, tapi tidak pada pementasan hidup, karena ia sering kewalahan melakukan pendalaman karakter untuk bersikap. Tapi mungkin juga ia sedang gila karena terlalu mendalami itu semua?
                Dibalik karakternya yang ceria, usil, dan kocak ketika bersama kawan-kawannya, sebenarnya ia menyimpan segudang gundah dan galau dalam hati dan pikirannya. Terlalu banyak permasalahan yang ia pusingkan, terlalu banyak hal yang ia keluh kesah, risaukan. Tak sanggup lagi ia menerima setitik debu untuk dimasukan dalam kepalanya, sudah terlalu penuh.
                Ia selalu mencari pelarian, pelampiasan, pengelabuhan untuk sejenak menyingkirkan kekacauannya, ia tak benar-benar menyelesaikannya, tak mencabut akar permasalahan secara tuntas. Terlalu banyak dosa, terlalu banyak kutukan, terlalu banyak karma, umpatan, caci maki, kritikan, dosa, karma, kutukan, dan dosa, dan karma, dan kutukan, dan dosa. Semuanya melilit dirinya, menjerat, mencekik, membuat nafas tersendat-sendat.
                Ia sadar, kini sadar, malam ini sadar, dan ia terus memikirkannya ketika berada dijalanan. Tapi ia tetap bingung, lalu apa yang akan dilakukan? Lalu apa sekarang? Bagaimana menyelesaikan ketika semua noda telah melekat dalam kain, dan kain telah kering. Masih dapatkan kain itu dibersihkan kembali? Sebersih apa nanti jadinya?
                Ia yang merasa bahwa hidup ini menjadi sulit, rumit. Terasa seperti dililit simpul-simpul aneh tak pernah ia pahami bagaimana melepaskan simpul-simpul itu dengan benar, malah membuatnya semakin runyam. Ia terbiasa menumpuk masalah, menunda pekerjaan. Terbiasa menutup pintu kamar, menguncinya kemudian tidur, esok hari ia bangun membukan pintu, sang masalah masih menghadang, ia tetap tak peduli, sang masalah membuntuti tetap tak peduli, sang masalah tetap membuntuti lalu ia letih, ia penat, ia sumpek. Ia masuk kamar lagi, esoknya masalah semakin bertambah banyak, tumbuh dewasa, mengajak kawan-kawannya. Hingga suatu ketika ia membuka pintu, histerislah, ketakutanlah yang ada. Semua akan menjadi bom waktu. Kemudian sekarang apalagi yang akan dilakukan? Memotong kabel merah kemudian bom berhenti? Memotong kabel biru kemudian bom meledak? Memotong kabel hijau tetapi bom terus berjalan? Atau hanya goblok, pasrah menunggu bom meledak dengan sendirinya?
*
Malam semakin larut, pemuda itu tak kunjung sampai rumah. Tiba-tiba ia membelokkan motornya masuk gang sempit, hingga sampailah di sebuah jembatan, sebuah dam, ia berada di tengah jembatan sempit itu, memarkir sepeda motor. Duduk hening menatap malam. Air mengalir deras dari level atas Dam, di tengah sungai ada seperti pulau yang terbentuk dari gumpalan pasir, hasil endapan pasir erupsi gunung merapi beberapa bulan silam.
Langit meneteskan keringat, gerimis turun dengan pelan. Pemuda itu masih duduk di tepi jembatan, ia merasakan sumpek dan benar-benar suntuk. Berbagai macam aktivitas telah ia coba untuk menghilangkan kesuntukan, tapi yang ia dapat hanyalah kesenangan semu, bukan kebahagiaan. Ia benar-benar pemuda yang menyedihkan.
Kehidupan sekarang-sekarang ini begitu memuakkan baginya. Membuatnya pusing dan mual, sudah lama rasanya dia ingin muntah. Tapi tak pernah bisa ia memuntahkan isi perutnya.  Dia merasa sudah mencapai titik jenuh di kehidupan ini, bahkan untuk berkhayalpun dia teramat jenuh,  karena dia merasa bahwa kenimatan dalam khayalan hanya membodohi diri sendiri. Itulah kenapa dia berhenti menulis, membuat roman, cerpen, dan novel. Absurd. Kehidupan sudah terasa absurd dengan kebosanan yang begitu mencekik. Apa lagi yang ingin diraih? Bukan sudah puas dengan segala pencapaian, hanya saja sudah tak ada daya dan gairah untuk pencapaian.
Rintik hujan masih tetap konsisten, membuat aliran sungai menjadi lebih deras. Pemuda itu tak urung beranjak dari tempatnya, seluruh tubuh dan pakaiannya basah kuyup, air hujan telah menyebar dan menyentuh seluruh sudut tubuh, tapi tidak hatinya yang kelabu. Kosong tatapan mata pemuda itu terbuai dengan aliran air yang rasanya menghanyutkan, ada sebuah ketentraman didalam aliran air itu, ada sebuah gelombang yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Kosong.
Pemuda itu merebahkan tubuhnya di kasur ketentraman. Kepalanya mendarat dengan keras, membentur dasar sungai. Garis-garis merah mengalir seperti benang, darah menggelambir di aliran sungai. Pemuda itu hanyut mencari kententraman, memecah kesuntukan. Berhentilah segala pencapaian.
*

0 Komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Mari berteman, Twitter: @RahmanYH