Nafik

ENGKAU

Engkau. Ah betapa sering pujangga ataupun yang mengaku pujangga menggunakan kata ‘Engkau’ untuk memberi simbol pada seorang yang dikagumi. Kata ‘Engkau’ yang dipadukan dengan ramuan kalimat-kalimat keindahan merupakan sebuah resep yang lazim, kadang membosankan, namun merupakan formulasi yang benar-benar bergelora, muncul dari perasaan yang bergairah kekaguman. Sudah biasa demikian adanya, aku juga akan
menggunakan hal biasa itu, yaitu menggunakan kata ‘Engkau’ untuk diracik dengan kalimat-kalimat karena kekaguman ditambah pemanis perlawanan. Karena aku sudah tak sabar. Ya, Aku tak sabar untuk mengungkapkan gelora. Karena aku ingin. Supaya Engkau mengetahui.

Engkau,  Dara yang berusaha kuabaikan dari pikiranku.
Engkau,  Dara yang memercikkan bunga  api rindu.
Engkau datang darimana? dan sejak kapan?
Tiba-tiba memaksaku untuk memasang pandangan padamu.

                Engkau begitu memasang gairah,
                Mengaliri hatiku dengan sengatan listrik ketika aku memandangmu.
                Engkau mempunyai garis-garis wajah yang mencuatkan rasa gundah.
                Engkau begitu indah atas susunan syaraf, otot, tulang, daging, dan kulit yang pas!
               
SIALAN !
Engkau sialan! Dengan lancangnya memberi rasa pada hatiku.
Rupanya engkau belum tahu siapa diriku?
Aku adalah orang yang tukang menolak pinangan!
Aku adalah orang yang mampu bertahan ratusan tahun tanpa belaian angin!
TAPI ENGKAU?! Membuatku haus akan rasa rindu.
               
                                Memang benar adanya Engkau tak mengenal siapa diriku,
                                Begitu juga denganku yang tak mengenal siapa Engkau.
                                Engkau perlu tahu, bahwa Engkau termasuk Engkau yang kesekian.
                                Engkau yang berada di deretan puluhan Engkau lainnya
yang akhirnya mereka sang puluhan Engkau itu kuabaikan.
               
MAU KAU?! MAU SEPERTI MEREKA?!
Engkau perlu tahu siapa diriku.
Ah..... Aku yang pecundang!
Kuharap Engkau dapat duduk disudut ruang pecundang
Kan kubuatkan minuman.

Mari menikmati secangkir kopi pahit,
dan manisnya mulutku dengan sebuah lidah yang bercabang dua.

Yogyakarta, 15 April 2011

5 komentar:

  1. Kabut yang menyelimuti masih dapat tampak oleh sepasang mata, jika ada kekuatan yang mampu , . . . . . . Itu adalah rasa manusia, cinta katanya, Nafsu makanannya

    BalasHapus
  2. setidaknya aku memberikan perlawanan, karena aku merasa sedang saatnya mencipatakan diriku sendiri.

    BalasHapus
  3. Dirimu sendiri tanpa kau sadari, berjalan dengan cara menyontek orang lain

    BalasHapus
  4. Jika aku tak berjalan seperti orang lain, maka aku seharusnya terbang atau merangkak saja.

    Aku tetap memerlukan garam untuk diletakkan didapurku. kurasa semua orang banyak menggunakan garam.

    BalasHapus

Mengenai Saya

Foto saya
Mari berteman, Twitter: @RahmanYH